PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal abad XIX Jawa sudah merupakan daerah agraris. Sebagian besar dari penduduknya hidup dari pertanian, termasuk peternakan. Pertanian diusahakan secara tradisional, teknologi yang digunakan juga bersifat tradisional memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang masih ada pada tingkat subsistensi (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Hlm 289-290)
Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ”kedua” penjajahan ini, yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan gangsa Indonesia.
Dalam perkembangan sampai dengan paruh pertama abad ke-19, kebijakan selain bidang perekonomian, dalam bidang pendidikan juga tidak diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, tetapi itu hanya masih berupa rencana dari pada tindakan nyata. Dalam periode itu pemerintah harus melakukan penghematan anggaran, biaya untuk menumpas Perang Dipenogoro (1825-1830), dan untuk pelaksanaan Culturstelsel.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sistem Kehidupan Masyarakat Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda?
2. Bagaimana Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dibidang Sosial-Ekonomi?
3. Bagaimana Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Dibidang Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Kehidupan Masyarak Indonesia Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda masyarakat Indonesia hidup di pedesaan yang hidup dari pertanian, peternakan. Dalam desa itu sendiri terdapat kepala pemerintahan yang sering disebut dengan kepala desa. Diatas kehidupan desa yang yang sederhana ini terdapat kebutuhan organisasi pemerintahan Indonesia dan Kompeni.
Penduduk Jawa pada awala XIX berjumlah 4.615.270, diantaranya lebih dari 1,5 juta hidup di daerah kerajaan dan kira-kira 3 juta ada didaera yang langsung diperintah oleh pemerintah kolonial (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Hlm 289). Pemencaran pemukiman tidak merat, banyak daerah subur ditinggalkan penduduknya.
Sejak dahulu dalam masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi empat macam tingkatan. Pertama, Raja-raja pada puncak limas (pyramid) masyarakat. Kedua, kepala-kepala propinsi yang disebut dengan bupati. Ketiga, desa atau kepala desa yang mengepalai desanya. Keempat, orang-orang yang merupakan penduduk terbanyak; tingkat ini dapat dinyatakan sebagai masa atau individu dari masa itu.
Pada masyarakat Indonesia pada abad XIX menganut system feodal, maksud dari system feodal ini adalah hubungan kolot antara kekuasaan dan ketaatan kepada penguasa seperti kepala desa bahkan harus taat pada Raja. Walaupun ikatan feodal itu berdasarkan kedudukan kemasyarakatan dari kepala-kepala itu dan rakyat, dan bukanlah berdasarkan perjanjian, tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa tuan-tuan itu tidak bisa memindahkan kekuasaan feodalnya atas rakyat dengan jalan perjanjian.
Dalam lingkungan desa dimana kehidupan rakyat terutama masih pada tingkat subsitensi serta ekonomisnya belum sepenuhnya terbuka, hubungan masyarakat masih bersifat komunal, solidaritasnya terutama berdasarkan perasaan (bersifat emosional).
Penetrasi kapitalisme komersial seperti yang dijalankan oleh VOC menuntut rakyat menanam tanaman ekspor dan membiarkan mereka hidup dalam subsitensi berdasarkan pola agraris tradisional. Disini tampak bahwa system pemerintahan tak langsung memperkuat struktur feudal yang telah ada dan akibatnya dari itu ialah eksplorasi rakyat secara lebih intensif.
Pada awal abad XIX dalam system kolonial yang mempertahankan struktur feudal masyarakat feudal masyarakat Indonesia, kedudukan para bupati sangat strategis. Dalam system pemerintahan tak langsung justru bupati memegang peranan rangkap. Mereka tetap mempunyai kedudukan sebagai penguasa teratas didaerahnya, disamping itu mereka berperan sebagai perantara antar penguasa kolonial dan rakyat, suatu kedudukan yang menambah kekuasaan politik.
2. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dibidang Sosial-Ekonomi
Dalam menghadapi kondisi kehidupam rakyat yang serba terbelakang menurut kaum liberal kesemuanya itu terutama disebabkan oleh system feudal yang mematikan semua hasrat rakyat.
Pemerintahan Hindi-Belanda melakukan kebijakan yang diterapkan dari segi social-ekonomi berupa kerja Rodi. Kerja rodi in adalah pemerintah kolonial menyuruh rakyat untuk bekerja didalam benteng, gudang, pabrik, untuk pertahanan dan pekerjaan umum lainya dan diiringi oleh paksaan dan siksaan tanpa melihat kemampuan dari rakyat,bahkan rakyat bisa juga dianggap sebagai budak.
Indonesia pada masa pemriintahan Hindia-Belanda dan khususnya pada abad XIX mengalami perubahan system pemerintahan dan mengalami pemerintahan yang benar-benar membuat masyarakat sengsara, yaitu pada masa Gubernur Jendral Dirk Van Hogendrop (1789-1808), Gubjen Herman Willem Daendels (1808-1811), dan Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Karena kongsi dagang V.O.C mengalami kebangkrutan atau keruntuhan (1798). Dalam tubuh V.O.C terdapat indikasi korupsi yang sangat menonjol. Akhirnya pemerintah belanda mengambil alih kekuasaan di Indonesia dari tangan VOC.
Kerajaan Belanda mengirimkan Gubernur Jendral Dirk Van Hogendrop (1799-1808). Dari Van Hogendroplah perubahan terjadi dibidang social ekonomi. Hogendrop melihat struktur masyarkat Jawa yang feudal berfikir untuk mengatasi hal itu maka diusulkan agar kedudukan bupati dan penguasa daerah lainnya diatur kembali, pemilikan atau penguasaan tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada rakyat. Rakyat diberikan tanah untuk ditanami secara bebas, bebas memilih jenis tanaman serta menyalurkannya dan bebas melakukan pekerjaan. Sebagai pengganti yaitu verplichte leveranties (penyerahan wajib) diadakan pajak berupa hasil bumi dan uang kepala.
Pada masa kepemimpinan Gubjen Daendels rakyat mengalami keja rodi karena Daendels memerintahkan untuk membuat jalan untuk kepentingan militer. Tetapi tanpa disadari, jalan itu sangat berguna untuk perdagangan dan mempercapat ekspor. Pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Dikenalkanlah oleh sang gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah.
Pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Sistem utama yang dijalankan pada masa Raffles adalah: pertama, Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip pajak dari petani dengan cara mengganti penguasaan tanah melalui tangan kekuasaan pemerintah jajahan yang masih tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah. Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk. Ketiga, Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
Indonesia juga pernah mengalami Sistem tanam paksa. Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa. Sementara, para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diwariskan berikut fasilitas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Pada intinya kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX antara lain, penyewaan desa pada pihak swasta, diterapkannya system tanam pakasa, penyerahan wajib (upeti) berupa hasil pertanian, peternakan dan berupa uang, menyewakan tanah kepada rakyat dan ditanami komoditas ekspor,
3. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Dibidang Pendidikan
Pada akhir abad ke-18 menjelang abad ke-19, perusahaan V.O.C mengalami kemunduran sehingga tidak dapat berfungsi sebagai lembaga yang mengatur pemerintahan dan masyarakat di daerah Hindia Timur. Dalam perkembangan sampai dengan paruh pertama abad ke-19, kebijaksanaan pendidikan Pemerintah Kolonial Hinda-Belanda masih banyak berupa rencana daripada tindakan nyata.
Cirri dualistic masyarakat kolonial Hindia-Belanda tercermin pula dalam bidang pendidikan. System pendidikan yang dualistic membuat garis pemisah tajam antara dua subsistem yaitu system sekolah Eropa dan system sekolah Bumiputera.
Sejak tahun 1816 ketika pulau Jawa kembali lagi dikuasai Belanda, segera nampakbahwa peraturan pemerintah tentang persekolahan dan sekolah dasar lebih ditujukan kepada pendidikan untuk orang-orang Belanda. Pada zaman Kolonial Belanda pelayanan pendidikan dibedakan menjadi katagori pendidikan sekolah yang didasarkan pada keturunan, bangsa dan status social, yaitu:
1) Sekolah dasar an lanjutan diperuntukan untuk golongan penduduk Eropa
2) Sekolah dasar negeri dan sekolah Raja untuk golongan penduduk pribumi
3) Sekolah kejuruan yang dapat diikuti baik oleh golongan penduduk Eropa maupun Pribumi.
Perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad XIX di Hindia-Belanda memperlihatkan kecenderungan yang dipengaruhi oleh politik pendidikan pada khususnya dan politik kebudayaan pada umumnya. Pertama, kecenderungan yang dipengaruhi oleh aliran liberalism yang masih kuat di negeri Belanda. Kedua, kecenderungan yang dipengaruhi oleh politik bahasa dalam kerangka politik kebudayaan. Ketiga, sejak semula pembukaan sekolah lebih banyak didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan. Keempat, kecenderungan yang memperlihatkan adanya gagasan kuat agar sekolah pribumi lebih berakar pada lingkungan kebudayaan sendiri, maka bahasa pengantarnya yang digunakan adalah bahasa daerah masing-masing (landstaal).
BAB III
KESIMPULAN
Dapat ditarik kesimpulan dari uraian diatas adalah, pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX strutur masyarakat Indonesia masih bersifat feudal. Rakyat harus tunduk pada penguasa baik Bupati, Raja dan pemerintahan Kolonial. Kedudukan Bupati memegang dua peranan yaitu sebagai penguasa didaerahnya dan perantara dari pemerintah Hindia-Belanda.
Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami berbagai pergantian Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada masa Gubjen, Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan system tanam paksa, penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada rakyat, penyewaan desa pada pihak swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan.
Tidak luput juga dibidang pendidikan, pemerintah Hindia-Belanda merumuskan pendidikan di Indonesia tetapi hanya sebagai rancangan saja dan masih diperbincangan dari kalangan Pemerintah Kolonial.
DAFTAR PUSTAKA
• Prof. Dr. D. H Burger, Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo (penerjemah), Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.
• Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emerium sampai Imperium. Jakarta. PT. Gramedia; 1987
• _______________, Sejarah Pendidikan,