Pemberontakan Pertani Banten

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Banten merupakan daerah yang berada di ujung barat pulau Jawa dengan bentang alam berupa perbukitan di sebelah selatan sampai ke sebelah utara. Untuk itu, Banten dibagi menjadi dua yaitu Banten Utara dan Banten Selatan. Bagian Selatan merupakan daerah perbukitan yang jarang terjadi peristiwa penting tatkala Banten berupa kesultanan sampai penjajahan Belanda. Di daerah ini yang tinggal yaitu masyarakat Badui yang tinggal di hutan dengan cara yang masih sederhana dan tidak mau ikut campur dalam urusan dunia luar. Sedangkan di daerah Utara sering terjadi peristiwa penting yang mengubah perpolitikan di Banten. Terutama setelah bangsa barat masuk ke Banten. Ada upaya dari Kesultanan Banten untuk mengusir Belanda dari tanah Banten sampai hancurnya kraton kesultanan.
Kesultanan Banten dihapuskan oleh Williems Daendels (Gubernur Jenderal Hindia Belanda) karena perlawanan rakyat Banten terhadap pendudukannya. Tercatat Kraton Kesultanan Banten hancur sebanyak dua kali yaitu pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, akibat ulah anak kandungnya (Sultan Haji) yang bekerja sama dengan Belanda. Kemudian pada masa Sultan Aliuddin II (1803-1808) yang melawan kekuasaan Belanda atas Banten dibawah pimpinan Herman Williems Daendels.
Perjuangan rakyat Banten yang terjadi pada tahun 1888 melawan penjajah Belanda seluruhnya dapat dikatakan dipimpin oleh para ulama dengan menggelorakan semangat fi sabilillah. Tercatat ada empat kali pemberontakan atau perlawanan rakyat Banten terhadap kolonialisme Belanda. Pertama, pada tahun 1850 dipimpin oleh H. Wakhia; Kedua, pada tahun 1888 yang dilakukan oleh mayoritas para petani dibawah pimpinan H. Wasid dan Jaro Kajuruan (unsur jawara); Ketiga, pada tanggal 13 November 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang. Perlawanan ini terjadi pada pukul satu dini hari, sekitar empat ratus orang dengan mengenakan pakaian serba putih dan membawa senjata bedil dan kelewang menyerbu kediaman Wedana Raden Partadiningrat. Dan yang Keempat, terjadi pada tahun 1945 yang merupakan pertanda kebebasan dari cengkraman kolonialisme. Namun demikian kita kali ini hanya akan membahas tentang pemberontakan petani Banten tahun 1888 atau dapat dikatakan sebagai “Perlawanan Rakyat Banten Terhadap Kolonialisme Belanda.”
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa saja Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Pemberontakan Petani Banten 1888?
  2. Bagaimana jalannya Peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888?
  3. Apa Dampak dari Peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.   Untuk mengetahui Faktor-Faktor Pendorong Terjadinnya Pemberontakan Petani Banten 1888.
2.    Untuk mengetahui jalannya Peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888.
3.    Untuk mengetahui Dampak dari Peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888.




















BAB II
FAKTOR-FATOR PENDORONG TERJADINYA
PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN

1.      FAKTOR GEOGRAFIS
·         Dampak Meletus Gunung Krakatau
Selama dasawarsa sebelum terjadi pemberontakan, Banten ditimpa bencana-bencana alam yang membuat rakyat Banten frustasi yang berkepanjangan. Kejadian yang sebelumnya tidak diduga dengan kekuatan yang dahsyat telah menghancurkan segala fasilitas yang telah ada. Bencana alam yang terjadi berupa letusan Gunung Krakatau yang tidak diduga kedahsyatannya. Kebanyakan diantara masyarakat Banten hanya dapat merenungi nasib mereka akan kejadian tersebut.
Gunung Krakatau meletus pada bulan Agustus 1883 yang menyebabkan penderitaan yang bertambah ketika sebelumnya daerah Banten mengalami wabah penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Dan meletusnya Gunung Krakatau yang merupakan letusan yang paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indonesia. Lebih dari 20.000 orang tewas, serta banyak desa yang makmur dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi gersang. Dengan kejadian tersebut, maka kesengsaraan melanda sebagian besar wilayah Banten.[1]

·         Kondisi Geografis Banten Utara dan Selatan
Banten yang terletak dibagian paling barat Pulau Jawa, luasnya sekitar 114 mil persegi. Pada tahun 1892, penduduk Banten berjumlah 568.935 jiwa, dan daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Banten dapat dibagi menjadi dua yaitu Banten Utara dan Banten Selatan, Banten Utara merupakan daerah yang padat penduduknya dan tanah yang subur sudah digarap oleh penduduknya. Di Banten Utara juga penduduknya tidak hanya etnik Sunda tetapi ada yang dari Lampung, Jawa, Bugis, dan Melayu.[2]
Sedangkan Banten Selatan merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan belantara dan sangat jarang penduduknya. Serta sangat jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten. Di selatan hanya dihuni oleh masyarakat Badui yang dalam hidupnya masih sangat sederhana. Peralatan hidup mereka masih diproduksi sendiri dan mereka selalu melestarikan alam.

·         Anyer sebagai Kota Pelabuhan
Bila kita mengingat Daendels pasti kita akan mengingat tanam paksa yang dilakukan olehnya untuk membangun jalan Anyer-Panaroekan. Di pelabuhan Anyer pula ia menginjakan kakinya di Jawa sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

2.      FAKTOR SOSILOGIS
·         Keresahan sosial dalam gerakan-gerakan protes
Keresahan yang terjadi sebelum terjadi pemberontakan tersebut adalah berkaitan dengan perampokan, penyamunan, pembegalan dan lain sebagainya yang diaggap melanggar hukum. Dalam hal ini yang menjadi perampok, penyamun dan lain sebagainya dilakukan oleh kaum pemilik tanah atu aristokrat[3] yang kehilangan harta bendanya, sehingga mereka menempuh jalan tersebut untuk mempertahankan hak-hak mereka. Sering juga antara pemberontakan dan perampokan merupakan protes rakyat terhadap penindasan pamongpraja yang bertindak sewenang-wenang.
Selain itu juga adanya situasi politik yang memburuk di Banten, sehingga sering terjadi tindakan anarki, dan juga sistem administrasi yang kacau balau membuatnya semakin terpuruk. [4]



·         Lapisan Peserta dan Pemimpin
Peserta adalah rakyat terutama petani. Pemimpin dalam pemberontakan petani di Banten ini adalah kaum bangsawan dan kaum agama yang bertujuan sama yaitu mendirikan kembali Kesultanan Banten dan mempertahankan sistem status tradisional.[5] Tatapi dalam pemberontakan atau perlawanan masyarakat Banten lebih banyak dilakukan oleh elit agama. Mereka mendirikan sebuah pesantren, dimana dalam pesantren tersebut para kyai menyalurkan ilmunya berupa pemahaman Islam dan juga mendoktrinisasi akan kebenaran Islam. Sehingga banyak masyarakat Banten yang menjalankan rukun Islam kelima yaitu naik Haji ke Mekkah.
Dari banyaknya para Haji tersebut, rakyat Banten mulai mengikuti ajaran para Haji yang hanya sebentar di kota Mekkah atau beberapa tahun tinggal di sana. Kebanyakan para Haji yang beberapa tahun tinggal di Mekkah, mereka membawakan ajaran tarekat dan pemahaman Pan-Islamisme. Pan-Islamisme ketika itu sedang berkembang di Dunia Arab akan kesadaran nasionalisme masyarakat Muslim untuk melawan penjajahan bangsa Barat. Oleh karena itu, banyak para Haji yang menjadi penggerak dalam perlawanan melawan pemerintah kolonial.

·         Kedudukan Status Sosial
a.       Keluarga Sultan
b.      Raden: keturunan putri Sultan
c.       Priyayi: terdiri dari kaum Elit Birokrasi dan Bangsawan
d.      Kaum Abdi (Petani/ Tukang/ Buruh):  mayoritas rakyat

3.      FAKTOR EKONOMI
·         Konflik Tanah antara petani dan elit bangsawan
Konflik yang terjadi terkait dengan kepemilikan tanah atau sawah Negara, sedangkan tanah atau sawah tersebut sudah dihapuskan bukan menjadi milik kerabat Sultan. Dengan berbagai alasan yang dikemukakan oleh elit bangsawan untuk menuntut upeti bagi mereka kepada rakyat sebagai penggarap sawah negara atau sawah pusaka.[6] Selain itu juga, adanya penyelewengan yang dilakukan oleh kaum elit yaitu penggadaian sawah negara. Setelah Jayakusuma dipecat sebagai patih Lebak,[7] ia menganjurkan kepada rakyat di distrik Ciruas agar mereka menggadaikan sawah mereka kepadanya. Tercatat tahun 1869, sekitar 40 sampai 50 bau tanah kesultanan digadaikan kepada Jayakusuma untuk empat sampai lima ribu gulden.
Dalam hal ini dapat dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kaum petani dan elit sudah terjadi konflik dan bentrokan-bentrokan kepentingan. Kemudian perpecahan sosial diperparah dengan persoalan-persoalan lainnya yang berhubungan dengan kerja wajib. Serta adanya perubahan pemindahan hak atas tanah dimana orang yang mempunyai uang yang menguasai tanah dengan pemusatan pemilikan tanah oleh kaum elit.

·         Wajib Kerja Bakti
Wajib kerja bakti disini dapat dikatakan sebagai kerja paksa bagi rakyat jelata untuk mengelola tanah-tanah kesultanan atau sawah-sawah negara. Hal ini digunakan sebagai pembayaran pajak dengan menggarap tanah atau sawah tersebut. Kerja paksa ini dilakukan oleh kaum abdi maupun kaum mardika. Pada masa Daendels menjadi Gubjen Belanda, perbudakan di Banten tahun 1808 dihapuskan dan tanah-tanah kesultanan dihapuskan kemudian dibagikan kepada kalangan rakyat. Walaupun kesultanan Banten dihapuskan tahun 1810, tetapi praktek wajib kerja tersebut masih terus berlangsung. Praktek-praktek ini sangat menyengsrakan rakyat jelata karena mereka diperas tenaganya demi kebutuhan elit bangsawan kesultanan Banten.[8]
Tahun 1856 terjadi pembaharuan-pembaharuan oleh pemerintah dengan dampak wajib kerja bakti berangsur-angsur dikurangi dan kemudian orang bisa bebas dari wajib kerja wajib tertentu apabila mereka membayar sejumlah uang tertentu. Mengenai sistem tanm paksa di Banten, efeknya tidak terlalu besar bagi rakyat Banten karena tanaman yang diwajibkan tidak dapat tumbuh dengan subur dan pada pertengahan pelaksanaan tersebut dihapuskan.


4.      FAKTOR POLITIK
·         Posisi Elit Bangsawan
Kaum Bangsawan mengalami banyak perubahan terutama setelah Kesultanan Banten runtuh, banyak diantara mereka yang melakukan jalan yang militan dan bersikap pemberontak untuk mendirikan Kesultanan Banten kembali. Mereka yang pada masa Kesultanan mendapatkan berbagai fasilitas oleh penguasa Banten bila mereka dekat dengan penguasa, tetapi setelah dikuasai oleh Belanda mereka menjadi miskin karena keborosan yang mereka lakukan. Namun banyak diantara mereka menjadi orang kepercayaan pemerintah Belanda karena kelihayan mereka dalam bertindak. Dan mereka diperhitungkan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Untuk menumbuhkan kembali kenangan kejayaan Kesultanan Banten dan mendirikan kembali, kaum elit melakukan upaya pemersatuan rakyat seperti dalam Peristiwa Sabidin. Sabidin merupakan orang yang dijadikan kambing hitam oleh Jayakusuma untuk mempengaruhi rakyat Banten agar melawan Belanda dan mendirikan Kesultanan Banten. Ia dijadikan kambing hitam sebut saja kaum elit demi kepentingan mereka sendiri agar kedudukan mereka menjadi semakin kuat. Hal ini lebih didasarkan kepada garis keturunan ayah membuat loyalitas kaum bangsawan sangat tinggi dan juga berusaha membina hubungan yang kekal dengan anggota-anggota pamongpraja.[9]

·         Posisi Elit Agama atau Golongan Sosial Lain
Elit agama merupakan kaum yang selalu menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Mereka selalu menempati kedudukan yang strategis mulai dari tingkat lokal sampai pusat dan sangat dekat dengan penguasa Banten. Sehingga dalam kancah politik, kaum agama sangat berperan besar dalam menentukan kebijakan menurut Islam. Melalui ibadah Haji pula, para Haji yang menuntut ilmu membentuk kekuatan-kekuatan militan untuk menentang pemerintah kolonial dan menjadi kebangkitan Islam. Hal ini disebabkan karena peranan elit agama masa kolonial hanya digunakan dalam ritual keagamaan saja dan tidak dapat dijadikan pendukung kedudukan penguasa.
Namun ketika dalam kebangkitan Islam, elit agama lebih dihormati daripada pamongpraja. Perkembangan percaturan politik di Banten menjadi semakin menarik karena antara elit bangsawan dan elit agama mengadakan ikatan persekutuan. Mereka mengdakan ini karena mereka ingin mempertahankan sistem status tradisional yang telah ada di Banten. Selama abad XIX, kedua ikatan tersebut mengalami keeratan yang sangat baik, sebagai contoh adalah kerja sama yang dilakukan oleh Haji Wakhia dengan Tubagus Jayakarta, dan kerja sama lainnya antara elit agama dengan bangsawan.[10]

5.      FAKTOR PSIKIS DAN RELIGI
Adanya kebagkitan agama di Indonesia pada umumnya, Banten pada khususnya merupakan gerakan religio-politik.[11] Gerakan ini dikarenakan elit agama sudah tidak mempunyai hak untuk berpolitik dan akan dominasi Belanda yang menyebabkan ketidakpuasan dan frustasi dari kalangan petani itu sendiri. Kebangkitan kembali ini sesungguhnya hanya untuk mengembalikan kehidupan agama Islam, tetapi hal ini menjadi suatu alat untuk mengerahkan orang-orang untuk tujuan pemberontakan.
Kebangkitan kembali kehidupan beragama menyebabkan adanya peningkatan yang luar biasa dalam kegiatan keagamaan, seperti naik Haji, shalat, pemberian pendidikan kepada anak-anak muda. Meningkatnya masyarakat Banten yang naik Haji dan menetap di Mekkah dalam beberapa tahun lamanya untuk menuntut ilmu, merupakan awal dari gejolak yang terjadi di Banten. Mereka yang menganggap dirinya sudah cukup dalam ilmu agama kembali ke tanah air terutama Banten. Di Banten mereka mengajarkan agamanya kepada kalangan rakyat jelata terutama anak muda.
Sehingga pada perkembangannya mereka mendirikan pesantren sebagai tempat pembelajaran agama untuk anak muda. Tahun 1860-an jumlah pesantren di seluruh pulau Jawa diperkirakan sekitar 300 buah dan hanya beberapa saja yang mempunyai seratus santri.[12] Diantara pesantren-pesantren yang terkenal adalah Pesantren Lengkong dan Panjul di Cirebon, Daya Luhur di Tegal, Brangkal di Bagelan, Tegalsari dan Banjarsari di Madiun, dan Sida Cerma di Surabaya. Santri dari beberapa pesantren tersebut tidak hanya dari masyarakat sekitar pesantren, tetapi juga dari daerah lain. Jadi pesantren sudah menghilangkan keregionalann, tetapi telah bersekala nasional. Sehingga mempercepat proses merakyatnya aliran-aliran di bidang agama.
Kembali ke para Haji diatas selama mereka yang menetap sementara di Mekkah untuk menuntut ilmu, mereka juga terdoktrin cita-cita keagamaan dan politik menurut Pan-Islamisme. Para Haji cenderung menempuh jalan yang militan dan tegas-tegas bermusuhan dengan pemerintah kolonial. Dari pendidikan di Pesantren, para Haji menerangkan akan cita-cita keagamaan dan politik menurut Pan-Islamisme. Dan pesantren merupakan jalan yang paling tepat untuk menanamkan fanatisme terhadap pemerintah kolonial.[13] Melalui pesantren dijadikan pengendalian ideologis yang digunakan oleh elit agama sebagai senjata untuk melawan pemerintah Belanda.