Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana bentuk kebijakan luar negeri AS dalam konflik Cina-Taiwan
periode 2000-2005 dan kepentingan-kepentingan nasional AS dibalik kebijakan
luar negerinya dalam konflik Cina-Taiwan. Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif, yang mana penulis menggambarkan bagaimana kebijakan luar negeri AS
dalam konflik Cina-Taiwan periode 2000-2005. Data yang disajikan dalam
penelitian ini, yaitu data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka
(library research), dengan mengumpulkan data yang relevan dengan permasalahan
yang dibahas dari berbagai literatur, seperti buku-buku, jurnal, majalah, surat
kabar ataupun internet. Teknik analisis data yang digunakan yaitu Analisis Data
Kualitatif.
Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa bentuk kebijakan luar negeri AS dalam konflik Cina-Taiwan periode 2000-2005
berupa kebijakan ganda, kebijakan AS terhadap Taiwan tetap berdasarkan pada
Taiwan Relation Act, kebijakan AS ke Cina tetap pada Komunike Shanghai, dan
sikap penolakan Amerika mencabut embargo terhadap Cina. Semua itu tidak lain
adalah kebijakan luar negeri AS untuk kepentingan nasionalnya yang lebih
dominan pada kepentingan ekonominya, untuk mempertahankan hegemoninya di dunia.
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Taiwan secara geografis berada di
antara Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan, dan berbentuk pulau kecil
membentang ke selatan yang mempunyai luas 32.260 km2. Status politiknya sebagai
suatu negara sampai saat ini belum pernah tuntas. Taiwan dan Cina terpisah
sejak perang saudara di Cina berakhir tahun 1949 saat Partai Nasionalis Kuo Min
Tang (KMT) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek kalah dari Partai Komunis Cina
(PKC) dibawah pimpinan Mao Zedong. KMT melarikan diri ke Taiwan dan mendirikan
pemerintahan sendiri, sedangkan partai komunis di Cina juga mendirikan
pemerintahan baru.
Pemerintah PKC yang berada di
Cina selalu memandang Taiwan sebagai salah satu provinsinya yang membelot. Di
mata Cina, Taiwan adalah salah satu wilayah suci mereka. Oleh karena itu,
apapun yang dilakukan negara kepulauan menolak "Satu Cina", pasti
akan mendapat teguran keras dari Cina, khususnya pada tahun 1999 sejak Presiden
Lee Teng-Hui mendeklarasikan, bahwa ikatan bilateral harus didasarkan menjadi
hubungan "negara dengan negara". Menurut Lee, Taiwan tidak lagi
menganut formulasi ambisius "Satu Cina" yang menganggap daratan Cina
dan Taiwan adalah dua bagian dari negara yang sama. Keinginan Taiwan untuk
beroperasi atas dasar negara dengan negara dengan Cina.
Dampak yang ditimbulkan dari
pernyataan Lee cukup besar. Bursa Taipei anjlok 14% dan sebuah polling yang
melibatkan 1.957 responden di kota Beijing, Shanghai, Chongqing, Changsa,
Wuhan, Harbin dan Guangzhou menyebutkan 86,9% setuju kalau pemerintah Cina
menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah Taiwan.
Cina terus berupaya agar suatu
saat kelak Taiwan bisa bergabung kembali. Mao Zedong, pada tahun 1949 telah
menggariskan, bahwa penyatuan Cina-Taiwan harus berdasarkan prinsip "Satu
Cina". Sampai saat ini prinsip itu dasar kebijakan politik luar negeri
Cina terhadap Taiwan. Cina menganggap Taiwan sebagai bagian dari kedaulatannya
dan sebagai wilayahnya yang tengah menunggu unifikasi dengan kekuatan bila
diperlukan.
Cina mendesak Taiwan supaya
mengakui kebijakan "Satu Cina" sebagai syarat perundingan damai yang
terhenti sejak tahun 1999. Cina tidak akan menyatakan kemerdekaan Taiwan dan
juga tidak akan mengubah nama resmi negeri itu, ataupun mangadakan referendum
tentang kemerdekaan yang akan mengubah status-quo antara kedua Cina itu. Upaya
Cina dalam menyatukan Taiwan adalah membuat RUU Anti-pemisahan yang mana secara
hukum legal bagi Cina untuk melancarkan perang jika negeri pulau itu
memproklamasikan kemerdekaan untuk pemisahan permanen di daratan Cina.
Untuk mendorong Taiwan masuk ke
dalam negoisasi Cina berupaya melakukan penyesuaian atas strategi unifikasi nasionalnya
ke dalam beberapa persoalan "satu negara dua sistem" sebagai sebuah
solusi yang masuk akal terhadap proses unifikasi nasional. Kedua, mempercepat
isolasi diplomatik terhadap Taiwan. Ketiga, memperluas ketergantungan ekonomi
Taiwan terhadap Cina sebagai tempat untuk melakukan investasi dan perdagangan.
Dan keempat, berhadapan dengan Taiwan dan menekankan ancaman pertempuran
militer.
Pada tahun 2000 Chen Sui-Bian
terpilih menjadi Presiden, Chen tidak berasal dari KMT, tetapi dari Partai
Demokratik Progresif (PDP), Azas PDP adalah keinginan untuk memerdekakan Taiwan
dari Cina. Kebijakan Chen sehubungan dengan azas tersebut adalah sebuah
rancangan referendum yang disahkan menjadi undang-undang oleh Legislatif Yuan
pada tahun 2003 di Taipei. Chen berhasil meyakinkan lawan politiknya
mengesahkan sebuah referendum, terutama kaum KMT, menuju ke titik penentu arah
hubungan dengan Beijing merupakan antitesis dinamika hubungan kedua negara yang
sedang berseteru ini.
Terpilihnya Chen sebagai Presiden
Taiwan, membuat Cina khawatir karena memandang referendum yang disahkan di
Taipei sebagai langkah awal menuju kemerdekaan Taiwan. Cina mengancam akan
menyerang Taiwan dengan menggunakan kekuatan militer apabila menolak membahas
perundingan damai reunifikasi. Akan tetapi bagi Taiwan ancaman Cina tersebut
justru membantu menumbuhkan semangat kemerdekaan dan Taiwan menganggap mendesak
unifikasi akan mendorong Taiwan menuju kemerdekaan. Taiwan secara tegas menolak
konsep Beijing "satu negara, dua sistem", dan menegaskan bahwa RUU
Anti-Pemisahan yang dibuat oleh Cina merupakan upaya paksa untuk menganeksasi
kepulauan Taiwan dan mencerminkan ambisi Cina untuk mendominasi Asia Timur.
Pemerintah Taiwan memprotes keras upaya Cina tersebut dengan ancamannya untuk
menggunakan cara-cara kekerasan yang akan merusak keamanan dan stabilitas di
kawasan.
Ketegangan politik antara
Cina-Taiwan mengundang simpati dari beberapa negara internasional. Misalnya
Jepang mengimbau agar kedua pihak menahan diri dan melakukan dialog damai. Ketegangan
antara Cina dan Taiwan juga membuat khawatir banyak negara tetangga, karena
jika konflik antara kedua negara ini menjadi konflik terbuka maka akan
berpengaruh pada ekonomi dan stabilitas perdamaian di Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Seperti Singapura yang turut prihatin atas konflik ini, karena
bergantung pada Cina dan Taiwan sebagai rekan dagang, dimana Cina merupakan
rekan dagang terbesar bagi Singapura.
Uni Eropa (UE) saat ini sedang
mempertimbangkan untuk mencabut embargo penjualan senjata kepada Cina yang
telah diterapkan sejak tragedi Tiananmen tahun 1989. Bagi UE yang menganggap
Cina akan menjadi salah satu raksasa ekonomi dimasa depan, pencabutan embargo
akan memperluas area perdagangan Eropa dengan Cina, sekaligus akan memotong
defisit perdagangan UE-Cina yang pada tahun 2003 mencapai 86 miliar. Akan
tetapi UE khawatir apabila pencabutan embargo senjata terhadap Cina akan
membuat Cina bersikap semakin keras terhadap Taiwan
Masalah Taiwan dalam hubungan
Cina, tidaklah sesederhana persoalan domestik Cina yang ingin menyatukan
propinsinya kembali. Disini terdapat keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam
masalah Cina-Taiwan. Sejak akhir perang Korea, AS terus merasa berkepentingan
akan masa depan Taiwan yang damai dengan membentuk aliansi militer pada tahun
1951 dan diciptakannya Taiwan Relation Act (TRA) tahun 1979 yang isinya
menjamin bagi hubungan perdagangan, pertukaran antar masyarakat dan bahkan
kelanjutan transfer senjata dan teknologi dari AS ke Taiwan. Kebijakan AS
terhadap Taiwan sampai pemerintahan Pemerintahan George W. Bush tidak pernah
berubah yaitu tetap sebagai pemasok senjata sebagai pertahanan Taiwan apabila
diserang oleh Cina.
Kepentingan AS dalam masalah ini
awalnya alasan keamanan dan strategi yang mendasari ambisi AS sehingga terlibat
dalam konflik Cina-Taiwan, alasan yang lain lebih tepatnya untuk mendominasi
kawasan Asia Pasifik dan memandang bahwa Cina sebagai ancaman real bagi AS
karena Cina sebagai kekuatan baru dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, serta keteguhannya berpegang kepada ideologi sosialis, ditopang dengan
jumlah demografis yang besar dan wilayah yang luas.
Berdasarkan uraian diatas,
penulisan proposal ini akan difokuskan pada kebijakan luar negeri AS dalam
konflik Cina-Taiwan tahun 2000-2005, dimana AS sebagai negara utama pemasok
senjata terbesar bagi Taiwan. Ketegangan politik antara Cina dan Taiwan semakin
memburuk ketika Chen menang dalam pemilihan presiden tahun 2000 yang cenderung
ingin memerdekakan Taiwan, menyusul keinginan Cina yang akan merilis RUU
Anti-pemisahan. Yaitu satu undang-undang kontrovesial yang menurut sejumlah
pengamat dapat menyatakan adalah ilegal bagi Taiwan menyatakan kemerdekaannya
dan akan menciptakan dasar hukum bagi Cina untuk mengambil alih pulau itu lewat
cara kekerasan untuk menekan Taiwan agar menerima reunifikasi.