Refleksi Mahasiswa

REFLEKSI MAHASISWA SEKARANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
” Refleksi Sejarah”

Dosen Pengampu : Danar Widiyanta, M.Hum



DISUSUN OLEH : KELOMPOK X

1. Donne Rizky F                    (07406244043)
2. Moch Arief Hidayat           (07406244045)
3. Ratih Kesuma                     (07406244047)
4. Octavia Argita                    (07406244052)


PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di awal Orde Baru kegiatan mahasiswa yang memberikan motivasi dan pengalaman kepemimpinan kepada mereka masih berlangsung sampai pertengahan tahun 1970’an bersamaan dengan pembentukan lembaga-lembaga politik Orde Baru mahasiswa diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin politik melalui keanggotaan DPR dan DPRD serta Organisasi Politik yang bentukan pemerintah yaitu Golkar. Dari perkembangan sejarah aktivitas mahasiswa diketahui pertumbuhan motivasi mahasiswa untuk menjadi pemimpin bangsa yang mereka realisasikan dengan mendapatkan pengalaman sembari mempersiapkan diri di bidang profesi tertentu melalui penguasaan suatu ilmu. Untuk itu mereka melakukan serangakaian kegiatan non kurikuler seperti menelusuri riwayat para pemimpin nasional dan dunia, menekuni literature dan diskusi tentang maslaah kemasayarakatan dan politik dan aktif dalam organisasi politik atau non politik.[1]
 Selama tahun 1998, kita menyaksikan meningkatnya militansi gerakan mahasiswa. Dimulai dengan aksi-aksi protes, menyebar di berbagai daerah dengan tuntutan penegakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa pada bulan Mei lalu, gerakan mahasiswa Indonesia mencapai puncaknya saat mereka menduduki gedung DPR/MPR dan berhasil memaksa Suharto turun dari jabatan Presiden. Pada bulan September, aksi-aksi protes mahasiswa muncul kembali, kali ini dengan tuntutan agar Suharto diadili, dicabutnya dwifungsi ABRI dan dibatalkannya Sidang Istimewa MPR. Pemerintah Habibie menanggapi gelombang protes ini dengan kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya selumlah mahasiswa di berbagai kota, yang terbesar salah satunya kita lihat pada Tragedi Semanggi. Langkah-langkah kekerasan ini terbukti tidak menyurutkan gerakan mahasiswa. Dengan memanfaatkan berbagai isu, hari besar nasional dan internasional, mereka terus turun ke jalan. Pemerintah transisi yang baru, yang terus menerus mengumumkan akan memperbaiki dirinya, tidak berhasil meredam gerakan ini. Kekerasan aparat yang terus terjadi pada setiap aksi justru melahirkan tuntutan baru yang semakin meluas.[2]
Bersamaan dengan proses pematangan kesadaran politis dan militansi melalui aksi-aksi langsung ini, gerakan mahasiswa Indonesia juga menghadapi beberapa persoalan sehubungan dengan kelanjutan gerakan, dan pembinaan militansi perjuangan. Beberapa kelompok melihat mutlaknya kebutuhan untuk bergabung dengan sektor­-sektor lain dalam masyarakat, terutama buruh dan petani. Predikat mahasiswa bukanlah kelas tersendiri dalam masyarakat. Bahwa perubahan sosialnya yang sesungguhnya haruslah didorong dari golongan yang paling tertindas dalam masyarakat, bukan dari kelas mahasiswa yang dalam sejarah Orde Baru telah mendapatkan banyak kesempatan dibanding sektor lain dalam masyarakat yang harus menghadapi represi militer. Kelompok lain melihat bahwa sudah saatnyalah sekarang gerakan mahasiswa Indo­nesia “back to campus”. Berjuang mendemokratiskan kehidupan akademis di kampus sehingga pada nantinya kampus bisa dijadikan basis perubahan sosial secara umum. Di samping itu kita juga melihat kelompok-kelompok mahasiswa lain yang terus turun ke jalan, mengalami radikalisasi luar biasa dalam metode dan strategi. Sebuah reformasi yang hanya merupakan pergantian fungsi, bukan perornbakan struktural.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan gerakan mahasiswa?
2. Bagaimana gerakan mahasiswa saat ini?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Gerakan Mahasiswa
Berbicara tentang mahasisiwa selalu tidak ada habisnya. Mahasiswa adalah manusia yang dipenuhi idealisme. Mahasiswa senantiasa punya banyak cerita bagi negeri ini. Mahasiswa dianggap tunas-tunas baru yang akan menggantikan peran para pemimpin dimasa yang akan datang. Ditangan para mahasiswalah sekarang masa depan bangsa ini akan terjadi. Tongkat estafet ini akan diteruskan oleh mahasiswa. Disamping mahasiswa sebagai penerus kepemimpinan bangsa ini, ternyata mahasiswa berperan lebih besar sebagai agent of change. Tugas mahasiswa jangan pernah terhenti, ketika pemerintah berjalan baik, mahasiswa harus senantiasa berperan untuk menjadi oposisi dengan tetap mengawal pemerintah untuk meneruskan kinerjanya. Saat pemerintah mengalami penurunan kinerja, sudah sepatutnya mahasiswa bergerak untuk senantiasa mengingatkan tentang bagaimana pemerintah seharusnya bekerja. Keadaan ini membuat semakin vitalnya mahasiswa dalam mengawal bangsa ini untuk semakin baik. Adanya tugas yang diemban oleh mahasiswa sekarang seakan-akan sudah menghilang, hal ini disebabkan oleh adanya aksi-aksi anarkisme yang melibatkan mahasiswa dan terkadang aksi-aksi ini terjadi antar mahasisiwa sendiri.[3]
Ditengah peran dari mahasiswa yang sedemikian besar itu, terkadang mahasiswa merasakan suatu beban. Artinya mahasiswa mempunyai tanggungjawab yang tinggi terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat dan mahasiswa harus bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya. Ditengah perkembangan dunia pendidikan dewasa ini, kiranya harapan itu harus ditinjau ulang. Karena kenyataan sekarang banyak mahasiswa yang tidak lagi dapat bersikap seperti apa yang menjadi harapan masyarakat selama ini. Sebagian besar mahasiswa tidak dapat menjalankan fungsi yang selama ini diemban. Fungsi pembelajaran yang harusnya dapat ditransformasikan kepada masyarakat terkadang belum dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan oleh kualitas dari mahasiswa sendiri yang sekarang mulai menurun. Mahasiswa seharusnya dapat mentransformsikan sikap kritis dan kedewasaaannya dalam masyarakat. Hal terakhir inilah yang sekarang kurang ada dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa terkadang sering terjebak pada politk praktis sesaat, terjebak pada dunia kriminal dan sekarang mahasiswa terjebak dalam anarkisme layaknya preman. Anarkisme yang selama ini digemborkan mahasiswa untuk dilawan dan diberantas ternyata kurang mendapat respon. Pergerakan mahasiswa untuk bersama-sama dengan masyarakat membangun civil society mulai berkurang kepercayaannya. Seharusnya mahasiswa dapat berfikir kritis, tidak emosional dan dewasa dalam menghadapi masalah seperti itu. Sehingga tindakan-tindakan premanisme dan anarkisme dapat dihindarkan.[4]
Mahasiswa harus benar-benar menyadari posisi strategisnya dan beranjak dari statusnya maka mahasiswa harus berupaya untuk mewujudkan hal tersebut kedalam sebuah tindakan-tindakan yang rasional dan dewasa Mahasiswa merupakan golongan masyarakat yang mendapatkan pendidikan tertinggi, dan memiliki perspektif luas untuk bergerak diseluruh aspek kehidupan dan merupakan generasi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan akademis dan politik, oleh sebab itu adanya miniature state dikalangan mahasiswa merupakan proses pembelajaran politik untuk mahasiswa walaupun pada akhirnya dalam tataran politik praktis, gerakan-gerakan mahasiswa idealnya harus tetap bersifat independent dan tidak terjebak pada sikap pragmatis dan oportunis hal ini memang di perlukan demi misi mengembalikan jati diri bangsa. Memang benar mahasisawa sangat berperan penting dalam  pewujudan program mengembalikan jati diri bangsa yang saat ini sedang dalam masa kritis.
Saat ini banyak gerakan mahasiswa yang sudah ditumpangi elit-elit politik sehingga mereka tidak bisa bergerak bebas untuk menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol politik karena terikat perjanjian dengan elit politik tersebut. Hal inipun disinyalir penyebab melempemnya gerakan mahasiswa pasca reformasi. Selain itu telah terjadi fragmentasi di intern gerakan mahasiswa itu sendiri yang disebabkan perbedaan ideologi dan cara pandang terhadap permasalahan tertentu, dan munculnya mahasiswa opurtunis di tubuh gerakan mahasiswa dimanfaatkan kepentingan individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka. Bahkan ada stigma yang berkembang di masyrakat bahwa untuk membiyai kebutuhan logistik organisasi agar program kerja organisasi tetap terlaksana akhirnya gerakan mahasiswa pun terjebak pada UUD (Ujung-Ujungya Duit) dan tumbuhlah budaya ABS (Asal Bapak Senang), hal ini merupakan momok bagi pergerakan mahasiswa yang selama ini dikenal sebagai golongan masyarakat yang idealis dan berpihak pada masyarakat, untuk mengembalikan kembali image itu kita perlu belajar pada sejarah sebagaimana pepatah para ilmuan Prancis, L’ Histoire Se Repete (sejarah akan selalu berulang) untuk itu maka sepatutnyalah saat ini gerakan mahasiswa mulai merekontruksi soliditas gerakan dan menjalin komunikasi lintas gerakan dengan menghilangkan kecurigaan dan merasa benar sendiri (high egoisme), dan mulailah untuk kembali menata idealisme dan mengavaluasi format gerakan mahasiswa selama ini. Hal-hal tersebut harus diupayakan dalam rangka mengefektifkan kembali mahasiswa sebagai preasure penguasa.[5]
Berbicara tentang gerakan mahasiswa, pikiran kita kerap tergiring ke sejarah masa lampau. Ketika mahasiswa selalu berada di garda terdepan setiap perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini. Berawal di tahun 1966, ketika gerakan mahasiswa yang dibantu militer berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama Soekarno. Di tahun 1974 mahasiswa kembali melakukan perlawanan terhadap dominasi Jepang atas pasar dalam negeri. Perlawanan ini kemudian memicu pecahnya malapetaka pada 15 Januari, yang sekarang kita kenal dengan peristiwa Malari. Tahun 1998, mahasiswa kembali menuai sejarah. Gerakan mahasiswa di tahun itu berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto yang menguasai Indonesia selama 32 tahun. Gerakan 1998 ini adalah yang paling legendaris, sebuah gerakan yang sangat dibanggakan hampir seluruh rakyat Indonesia saat itu dan tentu saja, masih dikenang hingga sekarang.[6]
Pascareformasi, gerakan mahasiswa kehilangan gaungnya. Stigma negatif akan gerakan mahasiswa bermunculan di masyarakat. Jika dulu (1998) masyarakat ikut menyumbang logistik bagi mahasiswa yang turun ke jalan, saat ini masyarakat malah melontarkan cacian kepada gerakan mahasiswa. Berbagai alasan membentuk stigma negatif ini. Salah satu yang paling sering dilontarkan adalah, demonstrasi hanya bisa membuat jalanan macet. Sejatinya, gerakan mahasiswa adalah sebuah perjuangan untuk kepentingan rakyat. Kerusuhan mahasiswa yang sering terjadi di beberapa daerah memperlihatkan betapa mahasiswa masih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi di Makassar. Awalnya, mahasiswa melakukan demonstrasi terkait Bank Century, namun pada akhirnya justru terlibat bentrokan dengan warga. Inilah yang patut dievaluasi. Gerakan mahasiswa  tidak lagi bisa merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Isu Bank Century adalah isu elite yang penuh dengan rekayasa politik di Jakarta. Padahal, sangat banyak isu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, namun tidak diperjuangkan. Secara gamblang, ini menunjukkan belum ada pembacaan yang cerdas untuk memosisikan di mana dan apa peran mahasiswa di era pascareformasi ini.[7]
B. Gerakan Mahasiswa Saat Ini
Anarkisme seolah sudah menjadi ciri setiap mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Anarkisme yang bermula dari perang mulut antara pengunjuk rasa di satu pihak dan polisi di pihak yang lain, yang kemudian berlanjut dengan lempar batu yang dibalas dengan pukulan pentungan dan semprotan air. Anarkisme berujung pada perusakan fasilitas umum seperti kantor pemerintah yang menjadi sasaran demo. Atau mencegat dan merusak mobil yang kebetulah lewat, bahkan mobil ambulan dan mobil polisi sekalipun, seperti yang kita lihat di media layar kaca dalam beberapa hari ini. Miris rasanya melihat kebrutalan para mahasiswa yang sedang berdemo, yang seolah tidak memiliki rasa bersalah melakukan perusakan fasilitas umum. Unjuk rasa bukanlah monopoli mahasiswa, warga biasa dan pelajar juga melakukan unjuk rasa, meski dengan berbagai alasan dan latar belakang. Bagi warga biasa, unjuk rasa biasanya berkaitan dengan rasa keadilan yang terlanggar, seperti pada kasus penyerobotan lahan, atau bahkan sekedar akibat kesalahfahaman yang sepele.
Anarki, berasal dari bahasa Yunani ”anarchia” yang berarti tanpa aturan, atau keadaan dimana hukum tidak ditegakkan karena kurangnya supremasi kekuatan. Sedangkan hukum yang dicoba ditegakkan polisi mendapat tentangan yang akhirnya memancing emosi polisi untuk juga berbuat anarkis. Unjuk rasa itu sendiri tidak salah, karena ia merupakan perwujudan dari kehendak untuk mengeluarkan pendapat yang dilindungi undang-undang. Tapi perbuatan yang anarkis mestinya dihindari. Terlepas dari substansinya atau tuntutan yang diinginkan para mahasiswa pengunjuk rasa, demonstrasi akhir-akhir ini, yang sering berakhir secara anarkis dan merusak adalah perbuatan yang kurang terpuji, bahkan sangat memalukan, mengingat bahwa pelakunya adalah para mahasiswa yang di kemudian hari menjadi penerus dan mungkin bahkan pemimpin bangsa ini.
Apabila kita mencoba mencari akar masalahnya, mungkin kita bisa mendapatkan jawaban atas maraknya unjuk rasa yang sering terjadi akhir-akhir ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi makro yang belum terasa dampaknya pada kehidupan masyarakat kelas bawah, tingkat pengangguran yang masih tinggi, serta situasi politik yang belum tuntas pasca pansus Bank Century di DPR, barangkali menjadi penyebab utama munculnya berbagai keresahan dalam masyarakat. Rasa keadilan yang terusik dan ketidakpastian hukum juga mungkin bisa menjadi penyebab terjadinya letupan dalam masyarakat yang berupa tawuran antar warga. Demonstrasi dan tawuran sepertinya menjadi kegiatan rutin, yang kalau tidak dilakukan, seolah kehidupan bermasyarakat menjadi hambar, dan media cetak serta layar kaca tidak mendapatkan berita yang layak tayang. Tanpa demo dan tawuran, para mahasiswa dan pemuda serta warga yang belum beruntung mendapatkan pekerjaan tetap seolah merasa menghabiskan hari-harinya dengan sia-sia. Mungkin diantara mereka yang rajin mengikuti unjuk rasa dan tawuran adalah mereka yang kurang kerjaan, atau malas mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Sebenarnya banyak sekali kegiatan kemasyarakatan yang bisa dilakukan untuk mengusir waktu-waktu kosong para mahasiswa dan pemuda serta warga pengangguran. Kegiatan kemasyarakatan dalam wadah Karang Taruna yang pada waktu lalu cukup menonjol seolah tidak lagi terdengar gaungnya, mungkin kalah populer atau kalah gengsi dengan kegiatan berunjuk rasa. Kegiatan para wanita, misalnya dalam program pemberdayaan wanita menuju keluarga sehat sejahtera (P2WKSS) juga tidak terdengar lagi beritanya. Padahal program-program tersebut memiliki potensi yang besar untuk menyerap energi  yang lebih besar dari masyarakat. Demikian pula kegiatan kepemudaan seperti pramuka, yang menanamkan rasa kasih sayang, mengajarkan sopan santun dan menegakkan sportivitas dalam berbagai kegiatannya yang positif kini jarang terdengar lagi.                                                                                                         
Apabila berbagai kegiatan positif tersebut terus dikembangkan, yang diiringi dengan suhu politik yang mendingin, perekonomian yang semakin membaik, rasa keadilan yang terpenuhi, dan tingkat pengangguran yang menurun, maka diharapkan berbagai unjuk rasa yang semakin marak akhir-akhir ini akan berkurang. Kalaupun ada, semoga kegiatan unjuk rasa berlangsung damai dan tidak berakhir rusuh, apalagi anarkis, karena hanya akan membuat dada ini terasa lebih sesak. Alasan utama Gerakan Mahasiswa mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan, salah satunya adalah terbukanya koridor politik melalui liberalisasi pembentukan partai-partai politik. Kondisi ini, membuat sebagian kalangan mahasiswa ikut terjebak dalam euforia politik formal serta hampir melupakan perannya sebagai gerakan moral. Faktor terakhir ini bahkan membuat banyak kampus tak lagi netral dan bersifat partisan. Organisasi gerakan mahasiswa ekstra kampus yang seringkali mendominasi lembaga intra kampus memperlihatkan afiliasi yang bisa dirasakan terhadap partai politik tertentu.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Mahasiswa adalah manusia yang dipenuhi idealisme. Mahasiswa senantiasa punya banyak cerita bagi negeri ini. Mahsiswa dianggap tunas-tunas baru yang akan menggantikan peran para pemimpin dimasa yang akan datang. Ditangan para mahasiswalah sekarang masa depan bangsa ini akan terjadi. Tongkat estafet ini akan diteruskan oleh mahasiswa. Ditengah peran dari mahsiswa yang sedemikian besar itu, terkadang mahasiswa merasakan suatu beban. Artinya mahasiswa mempunyai tanggungjawab yang tinggi terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat dan mahasiswa harus bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya.
Berbicara tentang gerakan mahasiswa, pikiran kita kerap tergiring ke sejarah masa lampau. Ketika mahasiswa selalu berada di garda terdepan setiap perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini. Berawal di tahun 1966, ketika gerakan mahasiswa yang dibantu militer berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama Soekarno. Di tahun 1974 mahasiswa kembali melakukan perlawanan terhadap dominasi Jepang atas pasar dalam negeri. Pascareformasi, gerakan mahasiswa kehilangan gaungnya. Stigma negatif akan gerakan mahasiswa bermunculan di masyarakat. Jika dahulu (1998) masyarakat ikut menyumbang logistik bagi mahasiswa yang turun ke jalan, saat ini masyarakat malah melontarkan cacian kepada gerakan mahasiswa.
Anarkisme seolah sudah menjadi ciri setiap mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Anarkisme yang bermula dari perang mulut antara pengunjuk rasa di satu pihak dan polisi di pihak yang lain, yang kemudian berlanjut dengan lempar batu yang dibalas dengan pukulan pentungan dan semprotan air. Anarkisme berujung pada perusakan fasilitas umum seperti kantor pemerintah yang menjadi sasaran demo. Atau mencegat dan merusak mobil yang kebetulah lewat, bahkan mobil ambulan dan mobil polisi sekalipun, seperti yang kita lihat di media layar kaca dalam beberapa hari ini. Miris rasanya melihat kebrutalan para mahasiswa yang sedang berdemo, yang seolah tidak memiliki rasa bersalah melakukan perusakan fasilitas umum. Unjuk rasa bukanlah monopoli mahasiswa, warga biasa dan pelajar juga melakukan unjuk rasa, meski dengan berbagai alasan dan latar belakang. Bagi warga biasa, unjuk rasa biasanya berkaitan dengan rasa keadilan yang terlanggar, seperti pada kasus penyerobotan lahan, atau bahkan sekedar akibat kesalahfahaman yang sepele.
Sebenarnya banyak sekali kegiatan kemasyarakatan yang bisa dilakukan untuk mengusir waktu-waktu kosong para mahasiswa dan pemuda serta warga pengangguran. Kegiatan kemasyarakatan dalam wadah Karang Taruna yang pada waktu lalu cukup menonjol seolah tidak lagi terdengar gaungnya, mungkin kalah populer atau kalah gengsi dengan kegiatan berunjuk rasa. Kegiatan para wanita, misalnya dalam program pemberdayaan wanita menuju keluarga sehat sejahtera (P2WKSS) juga tidak terdengar lagi beritanya. Padahal program-program tersebut memiliki potensi yang besar untuk menyerap enerji berlebih yang ada pada masyarakat. Demikian pula kegiatan kepemudaan seperti pramuka, yang menanamkan rasa kasih sayang, mengajarkan sopan santun dan menegakkan sportivitas dalam berbagai kegiatannya yang positif kini jarang terdengar lagi.













LAMPIRAN

Gerakan reformasi mahasiswa dalam menumbangkan
 Pemerintahan Orde Baru tahun 1998.

 

  
Sumber :




Gerakan mahasiswa saat ini erat kaitannya dengan anarkisme

Sumber :
http://images.google.co.id/imglanding?q=pembakaran foto sby oleh mahasiswa&imgurl= http://www.tvone.co.id









Aksi Mahasiswa yang menolak kenaikan BBM



[1] Supatono, Mahasiswa Bergerak : Belajar dari Pahlawan dan Perjuangan Internasional 1960-an, Jakarta : YLBHI, 1999, hlm. 24-27.
[2] Ibid., hlm. 30.
[3]  Cypri Aoer, Aksi Mahasiswa : Reformasi Total, Jakarta : Mentari Nusantara, 1998, hlm. 80.
[4] Arbit Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Jakarta : Yayasan Lingkaran Studi Indonesia, 1989, hlm. 55-57.
[5] Ibid., hlm.59.
[6] Mohammad Dzaman Al-Kindi, dkk, Mahasiswa dan Masa Depan Politik Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1993, hlm.76-77.
[7]  Wan Ulfa Nur Zuhra, Menilik Gerakan Mahasiswa Saat Ini, 2010,  Tersedia pada http://www.ha rian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=33327:menilik-gerakan-mahasiswa-saa t-ini&catid=57:gagasan&Itemid=65.  Diakses pada 1 Mei 2010.