Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara:Sebuah Tinjauan

Migrasi orang Jepang ke Asia Tenggara dimulai pada awal zaman Meiji, dan jumlah orang Jepang meningkat 2.800 pada 1907, tahun pertama yang ada datanya, menjadi 19.900 pada tahun 1917 dan menjadi 36.600 pada tahun 1936. Mayoritas utama adalah Singkeh, orang Jepang yang lahir di Jepang , meskipun pada tahun 1920-an dan tahun 1930-an generasi kedua orang Jepang yang lahir setempat mulai tampak.


Sifat komunis Jepang mengalami perubahan yang cepat dan berarti menjelang akhir tahun 1910-an. Pada tahap pertama, sejak permulaan migrasi Jepang pada awal zaman Meiji (pada tahun 1880-an) sampai pada akhir tahun 1910-an, prostitusi merupakan mayoritas di kegiatan orang Jepang di berbagai pusat perkotaan, khususnya di Malaya-Inggris dan Jawa. Pada tahap berikutnya dari akhir tahun 1910-an hingga akhir tahun 1930-an pekerja kantoran, pemilik toko bebas dan pegawai, dan pekerja pertanian dan perkebunan menempati sebagian besar dari mereka.
Populasi orang Jepang di Asia Tenggara wanita jauh melebihi pria dan dengan pengecualian yang nampak jelas pada orang Jepang di Davao, prostitusi merupakan landasan sosial ekonomi bagi komunitas Jepang khususnya di Malaya-Inggris dan Hindia- Belanda sampai akhir tahun 1910-an. Sebelum perang Cina-Jepang tahun 1894-1895, orang Jepang memiliki status hukum seperti Cina dan orang Asia bukan pribumi lainnya. Di Malaya-Inggris mereka ditempatkan di bawah pengawasan Protektorat Cina, dan Hindia-Belanda mereka adalah “orang timur asing” kategori hukum di antara orang Eropa dan pribumi. Tetapi sebelum Perang Dunia I komunitas Jepang di pusat kota-kota besar seperti, Singapura, Batavia, dan Surabaya tetap dilandasi oleh prostitusi dan situasi itu baru mulai berubah pada akhir tahun 1910-an.
Transformasi komunitas Jepang paling tampak jelas di Jawa dan Malaya-Inggris. Ekspansi “kepentingan Jepang” Asia Tenggara pada akhir tahun 1910-an dan tahun 1920-an menarik perhatian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dan kita dapat memperoleh gambaran yang menarik mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 1924 dari laporan konsul Amerika Serikat di Surabaya, Rollin R.Winslow yang dikirim ke Washington.
Pada tahun 1920, sensus nasional pertama dilaksanakan di Jepang dan sistem nasional modern klasifikasi populasi negara itu secara hukum disusun. Perhimpunan orang Jepang didirikan di Singapura pada tahun 1915, setahun sesudah Konsulat dengan sungguh-sungguh memulai kampanye penghapusan prostitusi Jepang di Batavia pada tahun 1913, tiga tahun setelah Konsulat dibuka di Davao pada tahun 1918 atas usul dari Konsulat Jepang di Manila dan di Surabaya pada tahun 1921, dua tahun setelah Konsulat dibuka disana. Tujuan perhimpunan itu adalah untuk menggalang “ saling persahabatan dan pertukaran informasi” di antara penduduk Jepang.
Tetapi peranan yang paling penting yang dimainkan oleh Perhimpunan Orang Jepang adalah mendirikan dan mengurus sekolah Jepang. Pada akhir tahun 1910-an dan tahun 1920-an orang Jepang di Asia Tenggara menjadi terhormat di dalam kategori sensusnya, di dalam kedudukan sosial ekonominya, dan di dalam perilakunya, dan mereka makin meningkat di dalam negara Jepang setempat sekarang menjadi kokoh. Tetapi cara berpikirnya berkembang sejak memasuki abad ke -20. Bangsa Jepang tidak memperoleh status sebagai bangsa kelas satu di koloni Asia Tenggara alasanya tidak sulit dicari yakni bahwa pada kenyataanya negara Cina baik pada masa Dinasti Ch’ing maupun Republik Cina, tetap lemah dan tidak menjadi kekuatan imperialis, sebaliknya malah menjadi mangsa empuk bagi permainan imperialis di Asia Timur.
Asia Tenggara sebagai Konsep Modern : Sebuah Analisis Buku Ajar Geografi Regional di Jepang Asia Tenggara dianggap Jepang sebagai sebagai tema dibentuknya Komando Asia Tenggara oleh kekuasaan sekutu selama PD II guna membebaskan wilayah ini dari pendudukan Jepang. Tetapi seperti yang dapat kita lihat dari pembahasan di daepan bahwa konsep regional tentang Asia Tenggara di awal Jepang modern disusun atas dasar pertimbangan politik dan kepentingan dan merebaknya ideologi imperium Jepang. Sudah jelas bahwa tidak cukup perhatian yang dicurahkan terhadap faktor-faktor penting yang harus diteliti dengan sungguh-sungguh jika kita hendak mencoba mendefinisikan konsep regional yaitu mengenai “ keseragaman dan konsisten juga ketidaksamaan dari topografi, iklim, tumbuhan dan pola budaya yang lain dan dari tingkat perkembangan ekonomi dan sosial. Itulah sebabnya meskipun ada kebebasan perumusan konsep regional, Jeapang tidak dapat mengembangkan konsep ini menjadi persepsi yang matang untuk wilayah tersebut, bahkan sebelum dikalahkan di dalam Perang Dunia dan memasuki masa pasca perang.
Bahkan dibeberapa pengajaran sekolahnya buku-buku yang dijadikan pegangan para siswanya yang berkaitan dengan kata “ Asia Tenggara” yang sudah lama menghiasi buku ajar negara sebelum perang pada bulan benar-benar dibongkar.Istilah Asia Tenggara pasca perang mengalami perbedaan dengan konsep yang berkembang selama sebelum perang , citra pasca perang tentang Asia Tenggara seolah-olah memantulkan kebijakan Amerika Serikat terhadap Asia Tenggara, dan Jepang yang menjadi bagian dari stategi global Amerika Serikat. Kata Asia Tenggara itu sendiri secara fisik telah tercabut ketika pengajaran geografi dilarang sebagai bagian dari kebijakan pendudukan dan konsep regional itu diperkenalkan kembali sebagai sesuatu yang sama sekali baru yang dibawa oleh Amerika Serikat ke Jepang pasca perang 
Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Singapura dan Malaya Sebelum Perang
Analisis pola penetrasi ekonomi Jepang ke Singapura dan Malaya sebelum perang didasarkan atas data dari survai populasi oleh Konsulat terhadap orang Jepang di luar negeri menurut pekerjaannya. Populasi orang Jepang mengalami pasang surut, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan antara jumlah orang Jepang yang masuk wilayah itu dan jumlah kembali ke Jepang atau pergi ke wilayah lain. Awal populasi orang Jepang di Singapura dan Malaya di dominasi oleh kaum wanita. Banyaknya wanita di Singapura dan Malaya disebabkan sebagian besar pelacur yang disebut karayuki-san berada di sana sejak Restorasi Meiji hingga akhir perang Dunia II.
Penetrasi perdagangan di Singapura, adanya struktur kembar yang mencakup pula bisnis kecil, yang sebagian besar dipelopori oleh pekerja perusahaan-perusahaan Jepang besar. “migran pekerja” yang pada umumnya belum menikah atau tidak disertai oleh keluarganya yang sangat peka terhadap perubahan kondisi bisnis. Hal yang sama dapat dikatakan untuk pekerja yang dipekerjakan oleh perusahaan perikanan Jepang, yang mengakibatkan peningkatan yang cepat pada akhir tahun 1920-an dalam hal jumlah orang Jepang di Singapura dan Malaya yang terlibat di dalam industri perikanan. Pada tahun 1938 jumlah orang Jepang di bidang perikanan hanya sekitar seperlima dari jumlah populasi orang Melayu atau orang Cina dan kurang dari sepersepuluh jika dua golongan itu digabungkan. Jumlah industri perikanan Jepang yang meningkat dengan cepat di Singapura pada akhir tahun 1920-an didorong oleh pertumbuhan perusahaan-perusahaan ini dan digunakan tenaga kerja yang lebih banyak orang Jepang.semua orang Jepang yang terlibat dalam industri perikanan di Singapura pada tahun 1924 adalah pekerja dari ketiga (Taisei Gyogyo Koshi, Ishizu Gyogyo Koshi, Nammei Koshi) perusahaan itu. Perusahaan perikanan tersebut tertarik kepada prospek wilayah perikanan yang baru.
Sejumlah besar populasi orang Jepang di Malaya terlibat di dalam bidang pertanian, khususnya perkebunan karet. Sementara pola ketertiban sangat luas, dari perusahaan besar yang didukung oleh modal besar hingga perkebunan kecil-kecil yang dimiliki oleh perorangan yang menanamkan uangnya yang diperoleh dari pekerjaan yang lain. Hanya perkebunan perusahaan besarlah yang dengan modal mereka yang stabil dapat tetap hidup setelah melewati fluktuasi yang drastis mengenai harga karet yang memadai periode antarperang, sebagian yang lain tersapu oleh air pasang ekonomi. Perhatian orang Jepang lain yang penting adalah industri perdagangan.
Pola penetrasi ekonomi orang Jepang di Singapura dan Malaya pada masa antar-peperangan ditandai dengan pasang surutnya jumlah pekerja orang Jepang di bidang perdagangan dan bank yang tidak menikah dan yang tidak disertai keluarganya dan yang jumlahnya dapat dengan cepat meningkat atau menurun menurut keadaan bisnis. Penetrasi ini sama sekali tidak dipelopori oleh orang Jepang kelas bawah yang berimigrasi secara permanen untuk mencari dunia baru di luar negeri dimana mereka dapat menjalankan usaha kecil atau pertanian. Arus masuk orang Jepang ke Singapura dan Malaya dipelopori oleh pekerja perusahaan dan bank yang jumlahnya dapat dikendalikan menurut kondisi ekonomi. 
Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hndia Timur Belanda Sebelum perang
Populasi orang Jepang di Hindia Timur Belanda (sekarang Indonesia) mulai dicatat di dalam survai populasi pihak konsuler setelah konsulat Jepang didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1909. kencenderungan populasi orang Jepang di Hindia Timur Belanda dari tahun 1909-1936 tumbuh dengan cepat. Pekerjaan dibidang pertanian sangat kecil. Wanita Jepang kebanyakan bekerja sebagai pelacur dan pria sebagai nelayan. Ini merupakan kesimpulan periode pertama komunitas Jepang di Hindia Belanda.
Pertumbuhan kegiatan oang Jepang dibidang poerdagangan selama periode ini terpusat di tiga kota pelabuhan, yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya. Kegiatan pedagangan berkembang populasi sektor perdagangan di kota-kota ini lambat laun berkurang karena pedagang-pedagang menyebar ke daerah lain, meskipun seandainya pekerja toko di hitung. Barangkali hal ini berarti bahwa sementara sejumlah toko di tiga kota tersebut relatif besar dan mampu memperkerjakan pekerja , kebanyakan pedagang luar itu adalah bisnis berskala kecil yang diusahakan oleh perseorangan.
Faktor penentu adalah populasi dalam bidang perdagangan yang merupakan segmen terbesar dari populasi mereka bekerja. Barang-barang Jepang membanjiri pasar Hindia Timur Belanda dan populasi disektor perdagangan bertambah. Barang-barang Jepang diimpor karena harganya yang rendah menjamin stabilitas pasar antara penduduk asli, tetapi peranan yang dikemukan didepan dalam membawa barang-barang ini di tengah-tengah masyarakat tidak boleh diabaikan. Rute ini dibangun ketika penyusunan kembali perekonomian sedang terjadi akibat resesi setelah Perang Dunia I. Akibatnya populasi orang Jepang di sektor perdagangan menurun setelah tahun 1933, dan populasi total orang Jepang di Hindia Timur Belanda mau tidak mau menurun.
Pola Perembasan Ekonomi Jepang Ke Filipina Sebelum Perang Populasi orang Jepang di Filipina 30 persen dari semua Jepang yang berada di Asia Tenggara. Lambat laun propinsi itu meningkat dari tahun ke tahun, sehingga jumlah orang Jepang di Filipina sangat tinggi ketika lebih dari separo jumlah orang Jepnag di Asia Tenggara tinggal di Filipina. Saat tingginya populasi wanita Jepang di Asia Tenggara, populasi pria di Filipina sudah jauh lebih besar daripada wanita. Hal yang menjelaskan populasi lebih tinggi adalah dari segi pekerjaan seperti: mesin, kontruksi, dan pertanian. Komunitas orang Jepang berskala sangat besar ke Filipina kerana dibangunnya jalan raya Benguet yang menghubungkan Manila dan Baguio.
Banyak pria Jepnag yang tertarik atau dipekerjakan untuk membangun jembatan kayu dan bangunan lain sejak permulaan proyek jalan raya Benguest, akan tetapi pria Jepang yang masuk ke Filipina bekerja membangun jalan raya itu kembali ke Jepang daloam waktu 2 atau 3 tahun paling lama, dan yang tinggal adalah tukang kayu dan sebagian yang tinggal diperkebunan Abaca di Bavao. Tetapi mereka harus menunggu dari sepuluh tahun sebelum produksi abaca betul-betul berkembang.
Pola pekerjaan orang Jepang di Filipina dibandingkan dengan orang Jepang di Asia Tenggara terlibat dalam bidang perdagangan dan pertanian. Populasi orang Jepang di Filipina bertalian erat dengan faktor ekonomi karena migrasi ke Filipina mengikuti pola umum di Asia Tenggara. Sedangkan Abaca yang proses produksinya melibatkan sebagian besar populasi orang Jepang merupakan komoditas internasional yang harganya berfluktuasi mengikuti kondisi ekonomi dunia. Kegiatan utama dibidang Pertanian bagi orang Jepang di Filipina adalah peranan abaca di Davao yang dimulai setelah selesainya jalan raya Benguest dan akibat meningkatnya pengangguran di antar orang Jepang.
Semua itu diakibatkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti perubahan harga serat rami dan keuntungan dari perkebunan Abaca. Sementara itu sistem pengarap bebas yang mantap secara berangsur muncul. Sedangkan populasi disektor perdagangan merupakan akibat dari menguatnya hubungan ekonomi dengan Jepang yang disebabkan oleh meluasnya secara cepat perdagangan bilateral dan penempatan imigran Jepang diperkebunan Abaca. Meningkatnya lalu lintas perdagangan yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar secara lengsung disebabkan oleh perluasan perdagangan dengan Jepang. Meskipun terjadi penurun hujan populasi selama masa resesi, populasi dibidang perdagangan menciutnya tidak terlalu banyak dibandingkan Singapura dan Malaya. Karena populasinya tetap stabil selama masa depresi karena mantapnya sektor pertanian dan perdagangan dalam skala kecil. Pola penetrasi ekonomi orang Jepang di Filipina dikendalikan oleh sumbernya dan pasaran seperti di Singapura dan Malaya.

Hiroichiro Ishihara dan Pasokan Bijih Besi yang Stabil Hiroichiro Ishihara, anak laki-laki tertua seorang petani, lahir pada Januari 1890 di desa Kichijoin, Distrik Kii, Perfektur Kyoto. Kichijoin sekarang menjadi kota, tetapi ketika Ishihara lahir daerah itu masih merupakan desa terpencil tempat kediaman petani miskin. Meskipun penduduk desa Kichijoin hidup di dalam “benaman kemiskinan”, keluarga Ishihara memiliki kira-kira dua setenah are sawah, sehingga Ishihara sendiri tidak menderita kemiskinan. Hiroichiro adalah seorang yang ambisius, yang mendapat gelar dari sekolah malam Universitas Ritsumeikan. Tetapi ia tidak merasa puas dengan prospekya yang tetap menjadi pegawai rendahan jika ia tidak berhasil menempuh ujian pegawai negeri tingkat atas. Merasa tertarik pada ekspansi ke Selatan yang ketika itu melanda Jepang, dan didorong oleh Kimura, ia memutuskan untuk mencari keberuntungan di Asia Tenggara.
Hirichiro berangkat dari Jepang pada tahun 1916, dari Singapura rombongan itu pergi ke Panchor, Batu Pahat, di Kesultanan Johor, dimana dua orang adik laki-laki Ishihara memiliki perkebunan karet. Pada saat perkebunan karet yang dimiliki sudah tua dan dapat mulai menghasilkan getah, Perang Dunia I berakhir dan pasaran karet jatuh. Ishihara berusaha menutupi kebutuhannya dengan bekerja pada pembangunan saluran air yang direncanakan pemerintah Batu Pahat, tetapi rencana ini juga dibatalkan karena berakhirnya perang. Ia menjual perkebunannya pada tahun 1918 dan mendirikan perusahaan di Singapura bernama Ishihara Yoko, mengimpor suku cadang sepeda dan mengekspor karet dan kelapa, tetapi jatuh bangkrut pada tahun 1919 dan Ishihara terpaksa kembali Jepang untuk mencari dana lagi.
Ketika ia tiba di Singapura pada tahun 1916 ia melihat bahwa jalan-jalan di kebun raya penuh dengan butiran-butiran limonite. Ia menarik kesimpulan bahwa bijih besi pasti melimpah dan “memutuskan untuk membuatnya menjadi misiu guna mencari bijih besi dan memasok ke Jepang, yang kekurangan sumber ini, untuk membantu perkembangan industri Jepang. Mengembangkan tambang besi merupakan taruhan terakhir Ishihara , setelah kegagalan yang pertama di perkebunan karet dan kemudian usaha dagangnya di Singapura.
Kandungan bijih besi yang ditemukan pertama kali oleh Ishihara pada tahun 1919, atas dasar keterangan dari peta seorang teman , adalah di Sri Medan, Johor, di tepi Sungai Simpang Kiri.
Meskipun Ishihara telah memperoleh temuan langka, ia tidak dapat begitu saja mulai berusaha saat itu disana. Ia harus memperoleh hak tambang, dana, dan prasarana, dan benar-benar menambang dan mengangkut bijih itu. Mengenai pasar bijih besi ia menjelaskan bahwa ia ingin menambang bijih besi di Asia Tenggara, dan ia pun harus mendapatkan jalan untuk memasoknya ke Jepang. Sebenarnya keputusan Ishihara untuk memasok besar bijih besi sangat mengherankan, mengingat bahwa ia belum tahu apakah ia dapat membuka pelabuhan.
Meskipun demikian, Ishihara menghadapi masalah arus uang tunai sampai ekspor bijih tersebut dimulai. Perekonomian Jepang mengendur karena berakhirnnya perang Dunia I. Konsul jenderal di Singapura juga lebih tidak bergairah terhadap Ishihara, sehingga bank tersebut menhentikan pinjamannya. Tetapi, lagi-lagi Ishihara mendapat keberuntungan. Karena diperkenalkan oleh seorang yang bernama Shioyama dan ia dapat memperoleh dukungan presiden tersebut. Dengan memberikan 50 persen dari hak itu kepada Matsukata, Ishihara mendapatkan dukungan terus-menerus.
Meskipun Ishihara dikarunia keberuntungan dalam berbagai peristiwa dan mendapat bantuan dari para pendukung, ia dan pegawai-pegawainya bisa mungkin melakukannya sendiri. Tentu saja ketika perusahaan itu berkembang, ia mulai memperkerjakan spesialis, dan langkah inovasi dipakai. Akhinya perusahaan ini tumbuh memperkerjakan lebih dari 3000 orang pekarja Jepang, Cina dan Melayu. Produktivitas traspor di laut sangat bertambah baik pada zaman Meiji (1868-1912), dan biaya pengapalan turun cukup banyak, meskipun demikian biaya itu dapat lebih diturunkan lagi sekiranya Ishihara dapat mendorong inisiatif pemerintah untuk mendorong industri, yang sedang diperkuat pada saat itu. Ishihara mencatat bahwa “karena turun-naiknya biaya pengangkutan berfluktuasi begitu besar. Seperti kita lihat Hiroichiro Ishihara mengawali dengan perkebunan karet , berhasil membangun tambang besi dan memperluas kebidang bisnis lainnya. Sejarah perkembangan industri modern Jepang pada pertengahan kedua tahun 1920-an melampaui impor bijih besi dari Semenanjung Malaya mulai tumbuh dengan cepat, melampaui impor dari Cina pada tahun 1929 dan menjadi sumber bijih besi yang paling penting untuk industri baja Jepang. Dalam jangkah panjang, Ishihara memainkan peranan yang sangat penting dalam menjamin pasokan bijih besi yang stabil untuk Jepang.
Pendukung produksi baja terintegrasi menyatakan bahwa mengimpor bijih besi butiran merupakan suatu kesalahan karena dua alasan : meskipun mungkin lebih murah mengimpor besi butiran untuk baja, besi butiran perlu dipanasi, dan pembuatan baja terintegrasi menghasilkan produk sampingan, seperti gas dan ter. Para proteksionis menyatakan bahwa “proteksi besarnya proteksi itu pun tidak dapat membuat produksi terintegrasi itu banyak berkembang, dan impor bijih besi sedikit meningkat setelah turun pada saat berakhirnya Perang Dunia I. Selama mengendurnya perekonomian pada tahun 1928, pemerintah mendorong dibentuknya kartel dalam usaha untuk melindungi industri swasta. Akibatnya meskipun produksi baja pada intinya meningkat, impor besi butiran dari tempat-tempat lain kecuali Manchuria tidak meningkat. Impor dari India sedikit meningkat tetapi tidak pernah menyamai 410000 ton yang pernah diraih pada tahun 1929. Perbandingan produksi dalam negeri dengan permintaan seluruhnya, yang agak lebih dari 60 persen, meningkat sampai melebihi 65 persen, pada periode 1936-1940 rata-rata melebihi 70 persen.
Sejarah industri baja Jepang sebelum perang dunia II, ketika besi butiran merupakan produk utama, dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu : sebelum berdirinya Yawata Ion Works (tahun 1900); periode hampir mendekati monopoli oleh Yawata (1901-1913); periode ketika perusahaan swasta didirikan karena Perang Dunia I (1914-1919); periode resesi (1920-1932); dan periode proteksionisme (1933 dan seterusnya). Melihat dari langkah besar yang dibuat oleh industri baja Jepang selama dan setelah Perang Dunia II, orang dapat mengemukakan bahwa “efek belajar” dari produksi baja terintegrasi, yang sudah dimulai sebelum perang itu, sangat besar.
KOMUNITAS ORANG JEPANG DI LUAR NEGERI:KASUS DAVAO SEBELUM PERANG DI FILIPINA
Pemusatan ornag Jepang di Asia Tenggara sbelum perang Dunia II adalah di Davao, Mindanao bagian Tenggara, Filipina. Tahun 1941 terdapat sekitar 20.000 orang Jepang yang tinggal di Davao yang merupakan fokus utama dari investasi ornag Je[ang dalam skala besar di Asia Tenggara.Komunitas orang Jepang di Davao bermula tahun 1903, tahun 1898 kedaulatan atas Filipina diserahkan dari Spanyol kepada Amerika Serikat, dan pembangunan Mindanao dilakukan. Tahun 1903 tentara Amerika yang diberhentikan mulai bermukim di Davao yang merupakan daerah luas dan subur tetapi belum dikembangkan, guna mengolah perkebunan serat rami dan kopi.
Keputusan untuk mendirikan sekolah Jepang di Davao pada tahun 1923, tahun terburuk dalam masa resesi, memberikan petunjuk fungsi yang sejak semula diharapkan dilakukan oleh sekolah itu. Masa resesi dimulai pada akhir tahun 1918, dibarengi oleh perpindahan massal imigran Jepang. Problem mengenai sekolah merupakan hal yang timbal bersama dengan meningkatnya jumlah pemukim yang menikah. Pentingnya fasilitas pendidikan untuk meningkatkan perkembangan komunitas imigran. Pendidikan selalu menjadi kriteria yang paling penting untuk mencipatakan komunitas yang stabil. Usaha untuk mendirikan sekolah Jepang yang dilengkapi dengan baik muncul dari pandangan bahwa “penyelenggaraan pendidikan dengan kata lain yang menghilangkan kekhawatiran para orang tua mengenai anak-anaknya melalui penyediaan sekolah yang dapat dipercaya sementara para ornag tua memusatkan perhatian kepada pekerjaannya merupakan jaminan yang paling pasti bagi keberhasilan usaha imigran Jepang.
Imigran Jepang menganggap bahwa anak-anak mereka menunjukkan “kecenderungan untuk berasimilasi, memahami bahasa dan kebiasaan berbagai suku di Davao. Oleh karena itu tekanan di dalam pendidikan adalah mencegah asimilasi dan bahkan ada rencana untuk mengatur kunjungan ke Jepang. Pendidikan begitu kuat diarahkan ke tanah air dengan mendiskusikan arah ini kepada anak-anak yang lahir dan dibesarkan di Davao dan memungkinkan adanya perwujudan kebudayaan Jepang. Dengan pulihnya perekonomian pada tahun 1924 jumlah imigran Jepang meningkat, dan proporsi imgran wanita yang lebih tinggi mengakibatkan makin banyaknya jumlah anak-anak.
Peranan yang dimainkan oleh sekolah-sekolah Jepang di dalam pembentukan dan pengembangan komunitas Jepang di Davao pada masa sebelum perang. Komunitas ini terdiri atas sejumlah pekerja migran pada awal abad ke-20, mulai tumbuh secara berarti di sekitar masa Perang Dunia I, meluas hingga mencakup banyak imigran Jepang dan perusahaan pertanian yang diusahakan pertanian yang diusahakan oleh orang Jepang Manajer perusahaan pertanian. Filipina memasuki periode pergolakan pada tahun 1930-an. Selama masa depresi menghantam pada tahun 1929, perlawanan terhadap kedaulatan Amerika Serikat atas Filipina meningkat di Amerika Serikat. Pada tahun 1934 pembentuk undang-undang Filipina menerima undang-undang Tyding-Mc Duffe yang memberikan waktu selama sepuluh tahun untuk mempersiapkan kemerdekaan dalam hubungan persemakmuran.
Pada tanggal 8 Desember 1941 pasukan Jepang menyerbu Filipina ketika perang Pasifik pecah. Pada tanggal 2 Januari 1942 Manila jatuh dan hari berikutnya Filipina berada di bawah kekuasaan militer Jepang dan Davao menjadi pangkalan angkatan laut. Tahun itu dibentuk Kementrian Asia Timur Raya, dan sekolah-sekolah yang diakui di seluruh wilayah yang berada di bawah yuridikasi kementrian tersebut. Dengan demikian sekolah-sekolah Jepang di Davao menjadi sekolah di luar negeri yang diakui di bawah Kementerian Asia Timur Raya sebelum perubahan-perubahan dalam aturan-aturan sekolah diberlakukan.

Buku ini adalah salah satu buku yang dapat menjadi acuan dalam mempelajari tentang sejarah Asia Tenggara. Penjelasan tentang Negara Jepang di Kawasan Asia Tenggara menjadi kekuatan dari buku ini. Tidak seperti buku-buku yang lainya yang hanya melihat sudut militer dan peperangan melalui buku ini pembaca diajak untuk melihat Jepang dari sisi yang berbeda. Jepang banyak memiliki koloni di Asia Tenggara , pengaruh yang ditanamkan juga tidak sedikit.
Terutama yang berkaitan dengan penetrasi beberapa ekonomi dan beberapa kebudayaan. Sebagai contohnya saja penetrasi yang dialami oleh Negara Filipina dimana perekonomian dan industri mendapat cukup pengaruh juga. Beberapa tabel turut mendukung fakta-fakta yang diutarakan dalam buku ini dan ini menjadi salah satu kekuatan yang juga jarang dimiliki oleh beberapa buku lain.Penulisan yang begitu sistematis membuat bukti-bukti dalam buku ini menjadi enak untuk dipelajari.Buku ini juga dipisah-pisah berdasarkan bab sehingga mempermudah dalam mempelajari dan memahaminya.Namun dilain pihak di dalam buku ini juga dituliskan satu bab yang menjelaskan tentang seseorang yang berhasil dalam perekonomian ditengah-tengah perang dan belum stabilnya perekonomian pada saat itu, membuat sedikit kerancuan dalam pemahaman. Kehadiranya justru membuyarkan penceritaan yang sebelum-sebelumnya.Hal ini berakibat pada pecahnya konsentrasi pembaca jika tidak membaca sejak awal. Penulisanya juga kurang dapat dipahami, sebab penulis juga menggunakan kata-kata yang sulit dipahami.Penggunaan katanya kurang tepat dan cenderung tidak langsung pada pokok permasalahan. Ini yang menjadi salah satu kelemahan dari buku ini. Meakipun demikian keberdaanya menjadi salah sau buku acuan dalam melihat Jepang sebagai sebuah kekuatan di Asia Tenggara