SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL;
SEBUAH PENGANTAR
Sejarah pergerakan di
tanah air banyak didominasi oleh para mahasiswa dan pemuda yang memiliki watak kaum
muda yaitu menginginkan perubahan. Mulai dari revolusi kemerdekaan, orde lama
dan orde baru serta orde reformasi maupun tonggak-tonggak perubahan kebangsaan
lainnya mesti melibatkan mahasiswa-pemuda yang senantiasa tampil di garda
depan. Sejarah pergerakan nasional itupun dimulai seiring dengan lahir
tumbuh-kembangnya organisasi mahasiswa-pemuda yang memiliki kesadaran
nasionalisme dalam orientasi pergerakannya.
Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia
sesuai dengan konteks zamannya, haruslah
memberikan kesimpulan apakah gerakan
tersebut, dalam oreientasi dan tindakan
politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan
kebutuhan struktural rakyat Indonesia.
Orientasi dan tindakan politik merupakan
cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya,
menentukan pemihakan pada rakyatnya
serta kecakapan merealisasi nilai-nilai
tujuan atau ideologinya.
Karena
pranata mahasiswa merupakan gejala
pada masyarakat yang telah
memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa
merupakan golongan yang diberikan
kesempatan sosial untuk menikmati
kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakannya adalah absah. Dengan demikian
kronologi sejarah gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana
sejarah mahasiswa memberikan nilai
lebih terhadap organisasi sebagai alat
perjuangan politik modern. Meskipun
demikian, tidak ada maksud untuk tidak menghargai gerakan rakyat spontan.
Nilai
lebih organisasi dalam gerakan
mahasiswa hanyalah bermakna bahwa
di dalam organisasi, mahasiswa
ditempa dan dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman / pengidentifikasian terhadap masyarakat dan
persoalan-persoalannya.
2. Keberpihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam pengelolaannya
dalam mencapai tujuan ideal/ideologinya.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1.
Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi
gerakan mahasiswa.
3. Pengorganisasian sumber daya manusia, logistik dan
keuangan Gerakan Mahasiswa (GM) dan
4. Penentuan
program-program politik GM yang bermakna
strategis-taktis.
Kategori organisasional in pulalah menjadi semakin
penting karena terbukti pad GM masa Orba (juga kini) tidak mampu memaksimalkan
arti dan peranan organisasi sebagai alat perjuangan modern. Dengan kategori ini
kita akan melintas sepintas perjalanan GM Indonesia dari zaman kolonial Belanda
sampai saat ini.
Kolonialisme dan Gerakan Pemuda
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan
akumulasi dan kulminasi dari
dialektika kondisi obyektif
dengan tindakan subyektif masa
sebelumnya. Oleh karena itu gerakan
mahasiswa Indonesia tidak lepas dari pengaruh penyebaran ideologi
liberal, nasionalisme, sosiaisme, komunisme, perang-perang heroik di dalam maupun luar
negeri; gerakan petani abad 19,
gerakan buruh pada awal abad 20 maupun
sosial-demokrat, dan Islam, serta kondisi-kondisi ekonomi politik
lainnya.
Seperti halnya negara yang pernah terjatuh pada
kolonialisme, gerakan mahasiswa di Indonesia muncul pada saat-saat akhir
kolonialisme kapitalis Belanda. Setelah
kemenangan golongan liberal atas golongan konservatif, politik “balas budi” atau politik etis mulai
diterapkan di Indonesia. Salah satu kebijaksanaan politik etis adalah edukasi /
pendidikan. Kebijaksanaan ini
diberlakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari sekolah tingkat
dasar hingga sekolah-sekolah tinggi, golongan pribumi diberi kesempatan untuk
menempuh pendidikan. Sejak saat itu banyak golongan pribumi yang mendapatkan
kesempatan sekolah di luar negeri seperti Hatta, dan banyak tokoh yang bisa
menyelesaikan studinya di Indonesia
seperti Soekarno, dr. Soetomo, dll.
Dibukanya
sekolah-sekolah tersebut memberikan penagaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa
Indonesia .
Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman
bangsa lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan
demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi
tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah, gerakan mahasiswa
di Indonesia
mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari
Stovia—sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama
bagi pribumi yaitu Sarekat Prijaji (1905) kemudian Boedi Oetomo
(1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang pertama--
yang juga didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi
Oetomo dapat bertahan hidup sampai tahun 1920.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah
organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji setelah bubar berubah
menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang
kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai
embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa
lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang
Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij
(IP).[1]
Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh
mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara
bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia
(PI)—oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging[2].
PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan
juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia
seperti Semaun.[3]
Selain
organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club
misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung . Study Club yang
ada di Bandung
kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin
oleh Soekarno.
Apabila kita
amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong
kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan
mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi
berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan
kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka
gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun
format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat
aktif dalam organisasi modern. Sikap
sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan
nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk
mencapai Indonesia Merdeka.
Masa Penjajahan Fasisme Jepang
Di bawah
pendudukan Jepang yang fasis dan represif praktis tidak ada ruang hidup bagi
kehidupan politik kaum pergerakan khususnya pemuda.Semua organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan dimasukkan ke
dalam Seinendan-Keibodan (Barisan
Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah
Air) untuk dididik politik untuk
kepentingan politik Asia Timur Raya sebagai bagian dari program imperialisme
fasistik Jepang .
Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah
ramainya bermunculan, sebagi mutasi gerakan di bawah syarat-syarat
sangat represif,: Gerakan Bawah Tanah/GBT (Underground Movement) dengan
rapat-rapat gelap, dan penyebaran
pamflet. GBT ini dikombinasikan
dengan gerakan gerakan legal
Sukarno; merupakan jalan keluar yang
logis bagi perlawanan anti fasis.
Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Disinilah pergerakan
terasing dari massa.Tingkat kesadaran massa
untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang diharapkan
--tingkat yang revolusioner.
Masa Kemerdekaan 1945
Pada tanggal 14 dan 16 Agustus 1945, Nagasaki dan
Hiroshima di bom atom oleh tentara sekutu yang menyebabakan Jepang mengalami kekalahan
dalam perang dunia ke II, maka terjadi kevakuaman kekuasaan di tanah-tanah
jajahan pemerintahan fasis Jepang termasuk Indonesia sementara tentara Sekutu
belum datang. Maka pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih
ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan.
Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat
dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun
l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai
pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari
para pejuang Indonesia.
Masa pasca
kemerdekaan merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan
pelajar: selain melucuti
senjata Jepang, juga banyak memunculkan organisasi-organisasi. Dalam situasi seperti
inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul
paska revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5
februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian
diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal
25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI).[4] Oragnisasi-organisasi mahasiswa ini
mengunakan ideologi agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan
organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi
yaitu Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8
Desember 1945)—yang berideologi Katolik.[5] Sementara itu partai besar lainya yaitu
Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu Central
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).[6]
Pada
massa ini gerakan
pemuda dan mahasiswa
mencoba memeperkuat penola-kan
terhadap usaha kolonialisme Belanda
untuk kedua kalinya, dan secara
umum belum sampai kepada tahap anti-imperialisme (perusahaan-perudsahaan milik
Belanda tetap bercokol).
Selaian
organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan
organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori
ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH)
di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta
(PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM).[7] Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari
1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan lembaga mahasiswa tingkat
universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI
pada 20 Nopember 1955.[8]
Pergerakan Mahasiswa di Masa Orde Lama
Pergerakan
konteks situasi Orde Lama kerap diwarnai konflik politik aliran dan ‘perang
ideologi’ yang serba revolusioner, seraya tetap berpegang pada semangat
anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi tren ketika itu. Memasuki masa
demokrasi liberal-parlementer era Soekarno, HMI dan gerakan mahasiswa pada
umumnya lalu mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik segaris.
GMNIberafiliasi di bawah PNI. GERMASOS dengan PSI. CGMI dengan PKI . Sementara itu, HMI memilih Masyumi.
Persaingan
politik aliran antarpartai menjelang pemilu pertama di tahun 1955 berdampak
pada persaingan antarmahasiswa yang mengambil bentuk ideologis saling
berhadap-hadapan antara yang ‘kiri’ dan ‘kanan’. HMI berada pada posisi kanan bersama
PMKRI dan Germasos dengan isu utama antikomunis dan anti kediktatoran.
Sedangkan CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme,
anti-nekolim, dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke
kiri di bawah komando Panglima Besar Revolusi Paduka Jang Mulia (PJM) Bung
Karno, kelompok kanan mendapati kekalahan yang bertubi-tubi hingga memasuki
masa demokrasi terpimpin.
Dekrit
Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante sebagai jawaban Bung Karno
terhadap upaya parpol Islam yang ingin memasukkan kembali Piagam Djakarta ke
dalam konstitusi baru. Selain itu, pemberontakan PRRI dan Permesta yang
merongrong kekuasaan, dijawab Soekarno dengan membubarkan Masyumi dan GPII
(Gerakan Pemuda Islam Indonesia). HMI yang nota
bene merupakan bagian dari kelompok oposan dapat selamat dari pembersihan PKI dan CGMI.
Padahal
sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami
ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi
yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi
mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan
dicap kontrev (kontrarevolusi).
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu
Oktober) 1965, di mana kekuasan Soekarno mulai goyah. Kelompok yang banyak
berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri
untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan
tergulingnya Soekarno berikut nasib gerakan mahasiswa dan partai politik yang
mendukung ideologi Bung Karno.
Masa Orde Baru
Kejatuhan
Soekarno ini menjadi pancang sejarah pergeseran fase keindonesiaan dari Orde
Lama ke Orde Baru. Peristiwa ini memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force yang kemudian menjadi
kategori politik penting terhadap kekuasaan, sekaligus memitoskan kebesaran
mahasiswa angkatan ‘66. Pada babak sejarah berikutnya, maka banyak ditemui
tokoh gerakan mahasiswa yang mengisi birokrasi kekuasaan. Dekade pertama kejatuhan
Orde Lama merupakan masa ‘bulan madu’ gerakan mahasiswa dengan Orde Baru. Sedari
awal, aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah
Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Melihat
perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi
situasi yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief
Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru,
misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973.
Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia . Bagi mereka ini hanya merupakan proyek
ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini,
Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief
Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para
mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober”[9].
Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak
populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan
yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti
halnya gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung
dengan aksi masa yang massif. Konsepsi gerakan Moral masih dipakai dalam
periode ini dimana kekuatan mahasiswa hanya terbatas memberikan kritik yang
loyal kepada pemerintahan yang ada[10].
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru
bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal
Jepang ke Indonesia . Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan
melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta . Hal inilah
yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa
melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat
“asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil
produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15
Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir,
dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan
mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika
faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo saling berebut kekuasaan.
Setelah 4
tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa
“bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi
mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta ,
Bandung , Yogya dan Surabaya . Aksi-aksi ini menolak pencalonan
Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan
mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan
aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung
panser, mahasiswa membuat barikade dengan melakukan tidur di sepanjang jalan
Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan
militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di
Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus,
peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian. Memang akhirnya perlawanan
mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini setidaknya
telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia .
Apabila kita simak ada dua hal penting
dalam gerakan mahasiswa periode ini.
Setelah “kemenangan
tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim
Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari kampus.
Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi
mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa
dilarang berhubungan dengan kehidupan
politik praktis.
Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur
populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama
yang di Barat, serta belajar keluar negeri
merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan
oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik
kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah
(terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis),
kemiskinan, gap antara kaya dan
miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga
dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya
kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya
dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis
dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral,
dan sebagainya, yang belum pernah terjadi
sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi popularitas LSM,
gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan ilmu-ilmu
sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri
(terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian
masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan
pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM,
yang direspon mahasiswa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras
menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa ,
dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang
disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah
LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan
politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok
studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus
mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa)
yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam
wataknya semula.
Tahun 1985 dan seterusnya
kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi
objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil
oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para
pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan
masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea
Selatan. Bila dilihat
konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil
dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain
politiknya.
Aksi mahasiswa Ujung
Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya
dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang
relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah
dalam peraturan lalu
lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini
dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi
trend pada saat ini, Pengerahan massa
yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .
Celah-celah kegiatan pers dan
tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang
dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga,
baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun
rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun
80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga
sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan
internasional, isunya lebih merakyat, bargain
politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi
dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai,
ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh
dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut
belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tahun 1990, pada periode ini
Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas
kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992
terbentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat,
seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus
kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai
kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya
adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa
kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari
tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar,
sentimen anti Soeharto sangat tinggi.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan Mahasiswa 98 munculnya
bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi
sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah
mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini
adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah
malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh
pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang
sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia .
Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul
diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh
kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi,
pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang
sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat
menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang
baru!
Intensitas gerakan ini tidak
dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis
yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari
penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba
turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4
mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu
kemarahan massa rakyat, yang representasinya
dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa
tempat di Indonesia .
Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta
berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak
menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian
(18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
Bentuk-bentuk perlawanan
Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi
ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba.
Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis
tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu
turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih
relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat
itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu
adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan
Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi
setelah itu GM seperti kehilangan arah
dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum
tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam
gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi
Demokratik.
Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa.
Setelah Soeharto dilengserkan
yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan
masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah,
tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru,
Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November
1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan
aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya
Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh
korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan
yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.
Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin
mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh
mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan
pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali
menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie
menunda UU Drakula tersebut.
Tanggal 20 Oktober GusDur naik
menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi
Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang
sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi
masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan
terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata tidak
berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat
kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB
yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Rejim
GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap
sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.
Setelah gusdur berkuasa hampir
selama 2 tahun yang belum mampu memberikan kepercayaan kepada rakyat, MPR/DPR
mengadakan laporan sidang tahunan(LPJ) dimana gusdur mnempresentasekan
kepemimpinan yang ia sudah lakukan dan LPJ tersebut tidak diterima oleh MPR/DPR
yang akhirnya menyatakan bahwa kepemipinan gusdur gagal dan digantikan oleh
wakilnya yaitu Megawati Soekarno putri.
Masa kepemimpinan Mega-Hamzah pun
tidak jauh bebeda dengan kepemimpinan yang lainnya.yang seharusnya kepercayaan
rakyat mulai timbul dan mengharapkan megawati dapat merubah kondisi rakyat
waktu itu, malah ia memeperlihatkan kebijakan yang tidak populis serta pro
neoliberalisme dimana ia menaikan harga
BBM, menyetujui kenaikan tariff dasar listrik sebesar 30%, mensahkan RUU PPHI,
menjual BUMN kepada pengusaha asing, menyetujui kenaikan harga air serta
angkutan umum, yang notabenenya rakyat belum mampu menerima itu semua. Yang
lebih parah lagi kekuatan GM masih direpresif.ini terbukti dengan penankapan
aktivis mahasiswa di sejumlah kota-kota yang menentang kenaikan BBM.misalnya
kawan Mahendra(ketua LMND Jogja) yang di vonis 3 tahun penjara.jelas sudah,
bahwa rezim Mega–Hamzah sangat tidak berpihak pada rakyat dan belum mampu
menjawab persoalan mendasar rakyat.
Setelah paska kekuasaan
Mega-Hamzah pemilu 2004 dilaksanakan. dimana pemilihan langsung untuk kepala
negara baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia . Paska pemilu 2004
terjadi formasi kekuasaan borjuis yang menimbulkan bebagai kontradiksi yang
berpotensi menimbulkan krisis politik. Kemenangan SBY-Kalla yang tidak didukung
oleh kekuatan parlemen yang memadai. Kemengan Kalla dalam memimpin Golkar hanya
sedikit mengurangi saja namun tidak akan mampu menghilangkan situasi ini.
Sehingga SBY-Kalla harus berkompromi dengan banyak kekuatan politik sehingga
stabilitas kekuasaannya tidak cukup kuat. Koalisi kerakyatan dan koalisi kebangsaan
hanya semakin tinggal diatas kertas saja dilihat dari kristalisasinya paska
paska proyek rebutan jabatan di DPR, MPR, Kabinet, Pimpinan-pimpinan DPRD.
Pergeseran kekuasaan dari Mega ke
SBY-Kalla tidak merubah signifikan karakter ekonomi politik dari perkonomian
nasional. SBY-Kalla adalah perwakilan perwakilan politik darin kaum imperialis,
dan kelas kapitalis dalam negeri pribumi dan konglomerat tionghoa kroni suharto
yang keberadaanya dibutuhkan oleh kaum imperialis. Kekuasaan kapital dari borjuasi dalam negeri
baik Kalla-Bakrie dan kroninya serta konglomerat tionghoa kroni orde baru
tetaplah inferior dihadapan kaum imperialis. Kalla-Bakrie terlepas disukai oleh kaum imperialis atau tidak sepanjang
kooperatif sebagai agen atau sekutu lokalnya akan di pergunakan oleh kaum
imperialis. Seperti halnya juga konglomerat tionghoa kroni orde baru yang
keberadaanya dibutuhkan sebagai mata rantai distribusi barang produksinya di Indonesia
misalnya Astra, Kramayudha dsb yang melayani imperialis otomotif dari jepang
dsb.
Tentu kita ingat janji SBY-Kalla
pada saat kampanye lalu, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan kerakyatan, adalah bohong besar. Gebrakan
pemberantasan KKN oleh SBY-Kalla hanya menyentuh koruptor-koruptor kelas teri.
Menteri-menteri dalam jajaran kabinet seakan kebal akan hukum. Jelas Jusuf
Kalla yang terbukti menggelapkan Dana Abadi Umat para jamaah haji, dan kasus
korupsi lainnya masih saja bebas untuk duduk sebagai Wakil Presiden. Bagaimana
mungkin SBY-Kalla akan juga menyelesaikan kasus biangnya koruptor. Tak lain tak
bukan, Soeharto.
Apalagi kebijkan pencabutan
subsidi rakyat. Dari subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, listrik, air minum
dsb. Rakyat miskin semakin tak mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sangat
ironis saat rakyat banting tulang kebingungan karena harga-harga naik tajam
akibat minimnya subsidi, Aburizal Bakrie dengan enaknya menikmati subsidi BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia )
melalui Bank Nusa-nya. Anehnya hal ini terus dipertahankan oleh SBY-Kalla untuk
membela segelintir golongan daripada mayoritas rakyat Indonesia .
Lalu seperti apakah posisi
Gerakan Mahasiswa sebagai gerakan pelopor ?sekarang pun gerakan mahasiswa paska
kejatuhan suharto tidak memunculkan kembali kekuatannya sebagai pelopor gerakan
rakyat. Tetapi malah menyibuhkan diri dan kembali kedalam kampus menikmati
serta berkutat pada permasalahan kampus saja.
Lemahnya GM sekarang tidak pernah
di pahami oeleh beberapa organ ektra ataupun intra kampus, yang seharusnya GM
mahasiswa bisa memunculkan kembali kekuatannya sebagai gerakan pelopor buat
rakyat. Tetapi, GM tersebut hanya muncul pada saat momentum-momentum tertentu.
BEM pun yang seharusnya bisa mempelopori gerakan intra kampus paska kenaikan
harga BBM tetapi tidak pernah keliatan kekuatannya. Apakah mungkin BEM belum
menemukan ttik klimaks perjuangan mereka
ataupun masih mempercayai SBY-Kalla untuk memimpin negara ini yang sudah
terbukti tidak berhasil mensejahterakan rakyat. Sudah saatnya GM kembali
melihat persoalan-persoalan yang hari ini terjaid di masyarakat dan kepada anda
sekalian-lah sejarah ini dibebankan!
[1] Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia,
Penerbit Kompas, Jakarta ,
hal 246-7.
[2] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan
Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju
Republik, Grafiti, Jakarta .
Hal. 368.
[4] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa,
Lingkar Studi Indonesia ,
hal.84.
[5] ibid, hal.84
[6] ibid, hal. 85
[7] ibid, hal.84
[8] ibid, hal.85
[9] Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.
[10] Op.cit