Fakta Dan Kebenaran Sejarah

FAKTA DAN KEBENARAN SEJARAH


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Filsafat
Dosen Pengammpu Ajat Sudrajat, S.Ag. M. Ag.













Disusun oleh:
1.      Alfidatu Panji B.               (07406244001)
2.      Rinafika Dianasari            (07406244023)
3.      Hari Cahyono                    (07406244011)
4.      Mochamad Arief Hidayat (07406244045)



JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
                                                                            
                                                                            BAB I                                      
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Banyak orang sering berargumen tentang suatu atau sebuah permasalahan dan biasanya disebut dengan sebuah pendapat atau argument. Sebuah argument biasanya akan memunculkan sebuah alibi dan untuk mengetahui kebenaran sebuah argument tersebut dibutuhkan sebuah pembuktian. Dalam ilmu sejarah hal tersebut sangat bertolak belakang dan sangat berbeda dengan ilmu sejarah. Yang mana untuk mengetahui sebuah kebenaran peristiwa sejarah diperlukan berbagai macam rangkaian serta pengujian akan kebenaran suatu sumber sejarah. Dalam hal ini sangat diperlukan sebuah fakta sejarah dari para sejarawan. Fakta sejarah dari seorang sejarawan dengansejarawan lain amatlah berbeda dan perlu dibuktikan kebenaranya.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan permasalahan yang ada dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa pengertian fakta sejarah?
2.      Apa pengertian kebenaran sejarah dan dibagi menjadi berapa macam kebenaran itu?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    FAKTA SEJARAH
Suatu fakta sejarah adalah suatu pertanyaan, atau “tidak adanya” dalam kenyataan (Mestika Zed, 1985). Fakta sebenarnya merupakan produk proses mental (sejarawan) atau memorisasi (Sartono Kartodirdjo, 1992). Dalam fakta serig terdapat unsur-unsur subjektivitas. Dalam konteks inilah sangat diperlukan adanya ketajaman iterpretasi dan kejujuran para ilmuwa (sejarawan), sehingga objektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan.[1]
Menurut F.J. Tiggert, fakta adalah hasil penyelidikan secara kritis yang ditarik dari sumber-sumber dokumenter. Sementara Louis Gottschalk mengartikan bahwa fakta sebagai suatu unsur yang dijabarkan seara langsung dari sumber sejarah yang dipandang kredibel, setelah diuji secara seksama dengan metode sejarah. Dari dua pandangan tersebut enunjukkan bahwa fakta dalam sejarah adalah pernyataan, rumusan atau fakta yang diambil dari sumber sejarah atau dokumen.[2]
Fakta tidak sama dengan realitas atau kenyataan kejadian sehari-hari yang bersifat pasti, tidak berubah. Tetapi fakta adalah pernyataan, rumusan atau kesimpulan dari kejadian/realitas sehari-hari. Dalam hal ini fakta dapat berubah apabila ditemukan data dan sumber yang lebih kredibel. Karena iu Sidi Gazalba menegaskan bahwa fakta tersebut nisbi (bisa berubah), sedangka realitas/kejadian bersiat absolut, objektif.[3]
Sifat Fakta:[4]
1.      Fakta Keras
Fakta Keras (hardfact), yaitu fakta-fakta yang biasanya telah diterima sebagai suatu rumusan peristiwa yang benar, yang tidak lagi diperdebatkan. Kbanyakan faka ini adalah bebas dari kemauan kita. Itulah sebabnya fakta ii sering disebut dengan “fakta keras”, fakta yang telah mapan (established)  dan tidak mungkin dipalsukan lagi.
2.      Fakta Lunak atau fakta mentah
Yang disebut dengan cold-fact (fakta dingin). Dikatakan sebagai fakta lunak karena masih perlu dibuktikan dengan dukunan sumber-sumber lain. Oleh karena itu fakta tidak tersedia begitu saja, maka para sejarawan melalui penelitian sumber sejarah mencoba mengolah sehingga bisa dimengerti. Tetapi semua ini masih dimungkinkan muncul perdebatan tentang kebenarannya. Bisa saja suatu fakta ini belum diterima oleh orang lain.
Contoh: Pernyataan bahwa Soekarno pernah minta maaf kepada Jaksa Agug pemeritah Hindia Belanda pada tahun 1993. Pernyataan ini menimbulkan berbagai kontroversi.
3.      Inferensi
Inferensi merupakan ide-ide sebagai benang merah yang menjembatani suatu akta yang satu dengan fakta yang lain. Walaupun inferensi ini berdasarkan pada konsideran logis dan munkin subjektif, tetapi ide atau gagasan ini dapat dimasukkan dalam kategori fakta, tetapi masih lemah. Hal ini karena inferensi tidak lebih dari pertimbangan logis yang menjelaskan keterkaitan antar fakta.
Contoh: Pernataan bahwa PKI dan organisasi mantelnya adalah anak mas Bung Karno.
4.      Opini
Opini mirip dengan inferensi. Tetapi opini ini lebih bersifat pendapat pribadi/perorangan. Sebagai salah satu bentuk informasi sejarah, opini lebih merupakan penilaian (value judgment) atau sangkaan pribadi. Bahkan dalam kerangka yang lebih luas, opini merupakan semacam interpretasi.
Contoh: Proklamasi 17 Austus 195 merupakan titik puncak perjuangan Bangsa Indoesia.
Fakta menurut wujudnya diklasifikasikan menjadi:
1.      Mentifact: Seperti keyakinan dalam masyarakat.
2.      Artifact: misalnya bangunan, benda-benda arkeologi
3.      Sociofact: Berbagai jenis interaksi dan aktivitas dalam masyarakat.
Makna atau Fungsi Fakta dalam Sejarah:
1.      Ikhtisar dari suatu peristiwa yang telah terjadi dan terekam atau terabaikan di dalam sumber sejarah, fakta yang dirumuskan walaupun mengandung unsur subjektivitas tetapi masih bersifat netral, hingga secara kritis masih dapat digunakan.
2.      Fakta dalam penyusunan sejarah sebagai kerangka yang masih diisi dengan darah, daging, otot dan ruh agar dapat direkonstrksi menjadi sejarah.
3.      Dalam konteks peristiwa sejarah fakta tidak bersfat tunggal atau atau monofaktor, tetapi dalam merumuskan fakta harus  dari berbagai faktor, sehingga peristiwa sejarah tersebut merupakan sebuah sistem dan jaringan atau konfigurasi antar faktor. Sejarawan bertugas menghubungkan antar berbagai faktor sehingga menjadi menjadi jelas dan komprehensif.

B.     KEBENARAN SEJARAH
Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburu  adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang  dapat dipersoalkan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.[5]
Kebenaran yang diperoleh merupakan kebenaran yang dapat diertanggungjawabkan, setiap kebenaran  yang telah diraih senantiasa terbuka untuk dipersalkan kembali dan diuji kembali untuk memperleh kebenaran yang pasti. Demikian seterusnya.
Disini kita dapat melihat bahwa kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, tetapi terus bergerak dari satu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan ini juga  terbuka untuk dipersoalkan kembali untuk menemukan kebenaran yang meyakinkan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sifat dasar filsafat adalah memburu kebenara. Uaya memburu kebenaran adalah demi kebenaran itu sendiri, dan kebenaran yang diburu adalah kebenaran yang lebih meyakinka serta lebih pasti.
Menurut F.R. Ankersmit, ada epat teori kebenaran, yaitu:
1.      Teori kebenaran kebahasaan
2.      Kebenaran pragmatis
3.      Kbenaran korespondensi
4.      Kebearan koherensi
Menurut Lous Kattshof terdapat empat kebenaran, yaitu:
1.      Kebenaran Korespondensi
2.      Kebenaran Koherensi
3.      Kebenaran pragmatis
4.      Kebenaran empris.
Menurut P.A. Sorokin, ada tiga kategori kebenaran, yaitu ideational, idealistik, dan sensate. Ktia kategori tersebut sebenarnya saling menyempurnaka, tidak saling bertolak belakang.
Beberapa macam kebenaran:[6]
1.      Kebenaran Pragmatis: Sesuatu dianggap benar apabila terbukti sesuatu itu mendatangkan manfaat.
2.      Kebenaran Epiris: Kebenaran yang uumnya menunjuk pada yang diangap benar apabila sesuai denan pengalaman inderawi atau diamati oleh indera. Menurut pandangan ini, suatu pernyataan dianggap benar apabila didukung oleh fakta empiris. Artinya penyajian atau pembuktian secara empirislah yang dianggap lebih mensahkan pernyataan kebenaran tersebut dapat diterima atau tidak. Contoh: Pernyataan bahwa pada 16 Agustus 1945 terjadi perstiwa penculikan Bung Karno dan BungHata ke Rengasdengklok di rmah orang Cina, dan rumah itu sekarang masih ada, maka pernyataan sejarah dapat diuji kebenarannya.
3.      Kebenaran menurut teori korespondensi: Menurut teori ini sesuatu dinyatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara pernyataan atau materi pengetahuan yang melindungi dalam pernyataan berkorespondensi/berhubungan sesuai denga objek yang dimaksud dalam pernyataan. Ct: Pernyataa bahwa ibukota RI ada di Jakarta.
4.      Kebenaran menurut teori koherensi: Sesuatu atau pernyataan tersebut dianggap benar apabila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Contoh: Semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan benar, amka pernyataan bahwa Wulan adalah seorang manusia, dan setiap manusia akan mati adalah benar.
5.      Kebenaran ideational: Terkait dengan kebenaran imani, yaitu kebenaran wahyu yang disampaikan oleh para rasul. Keenaran ini bersifat supersensory. Kebenaran ini dipercaya sebagai kebenaran yang bebas dari kesalahan. Karena kebenaran ini tidak begitu cocok dengan kriteria kebenaran untuk peristiwa sejarah. Untuk merunut kembali peristiwa tersebut memerlukan kerja sejarah melalui metode sejarah oleh para sejarawan dan peminat sejarah.
6.      Kebenaran Sensate: Kebenaran indrawi yang dicapai melalui organ persepsi manusia. Premisnya  adalah true reality and value sensory. Di luar bingkai persepsi indrawi, tidak ada kebenaran, kalaupun ada posisinya tidak dianggap penting. Kebenaran ini tidak jauh berbeda dean kebenaran empiris. Untuk mencapai kriteria kebenaran sejarah melalui teori sensate agak kesulian. Hal ini karna sjarah sebagai peristiwa hanya terjadi sekali, dengan meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sangat terbatas. Padahal ukuran kebenaran menurut teori sensate ini di luar pengamataan indrawi dikatakan tidak benar kecuali yang dimaksud pengamatan terhadap jejak-jejak atau peninggalan dari peristiwanya.
Kategori kebenaran sensate medorong meniisnya nilai moral. Kebenaran sensate sangat terlihat sekuler.
7.      Kebenaran Idealistik: Kebenaran ini merupakan gabungan antara kebenaran ideational dan kebenaran sensate. Di dalam mencari kebenaran dengan pengamatan indrawi dipadu dengan kebenaran wahyu, kebenaran moralitas, sehina setiap orang memiliki kecerdasan dan keterampilan intelektual, kecerdasan sosial dan kearfan sosial.





















BAB III
PENUTUP
Fakta dalam sejarah adalah pernyataan, rumusan atau fakta yang diambil dari sumber sejarah atau dokumen. Fakta tidak sama dengan realitas atau kenyataan kejadian sehari-hari yang bersifat pasti, tidak berubah. Tetapi fakta adalah pernyataan, rumusan atau kesimpulan dari kejadian/realitas sehari-hari. Dalam hal ini fakta dapat berubah apabila ditemukan data dan sumber yang lebih kredibel.
Kebenaran yang diperoleh merupakan kebenaran yang dapat diertanggungjawabkan, setiap kebenaran  yang telah diraih senantiasa terbuka untuk dipersalkan kembali dan diuji kembali untuk memperleh kebenaran yang pasti.
Beberapa macam kebenaran:
1.      Kebenaran Pragmatis
2.      Kebenaran Epiris
3.      Kebenaran menurut teori korespondensi
4.      Kebenaran menurut teori koherensi
5.      Kebenaran ideational
6.      Kebenaran Sensate
7.      Kebenaran Idealisti











DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum, 2009, Pengantar Filsafat: Dari masa Klasik hingga Postmodernisme, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sardiman, 2004. Mngenal Sejarah, Yogyakarta: BIGRAF Publishing,



[1] Sardiman, Mengenal Sejarah, Yogyakarta: BIGRAF ublishing, Hlm 60.
[2] Ibid. Hlm. 61.
[3] Loc. Cit.
[4] Ibid, Hlmn 63.
[5] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari masa Klasik hingga Postmodernisme, 2009, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm 28.
[6]Op. Cit, Sardiman, Hlmn 87