Pemberontakan Rakyat Singaparna (1994)

PEMBERONTAKAN RAKYAT SINGAPARNA (TAHUN 1944)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
”Sejarah Lokal”
Dosen Pengampu : Sudrajat, S.Pd






DISUSUN OLEH :

KELOMPOK III

1. Bayu Andaruwati               (07406244010)
2. Dwi Saraswanta                  (07406244018)
3. Mita Sari Apriliana              (07406244024)
4. Muhammad Imam M          (07406244027)
5. Nety Handayani                  (07406244032)
6. Nico Rizardo                       (07406244033)
7. Ratih Kesuma                     (07406244047)
8. Surtini                                 (07406244055)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN


1.    Latar Belakang
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan salah satu aktivitas sejarah bangsa Indonesia, yaitu perjuangan bangsa Indonesia pra kemerdekaan serta suasana suatu masa yaitu dibawah pendudukan Jepang (1942-1945). Akan dicoba diuraikan bagaimana bangsa Indonesia mengantisipasi pendudukan Jepang dan segala macam perubahan yang terjadi, walaupun hanya dalam lingkungan kota Tasikmalaya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa bala tentara Jepang yang bergerak ke Selatan tidak dibendung oleh tentara Amerika, Inggris dan Belanda, satu demi satu daerah Selatan jatuh ke tangan Jepang dan akhirnya Indonesia (Hindia Belanda) juga jatuh ke tangan Jepang. Pada tanggal 7 Desember 1941 sebelumnya yaitu Jepang melakukan pemboman atas Pearl Harbour (pangkalan Armada Amerika di Pasifik), Jepang meluaskan Perang Dunia II ke daerah Pasifik dan Asia tenggara. Lima jam setelah serangan tersebut, Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A. W. L. Tjarda van Starkenborgh Stachower melalui pemancar Radio, menyatakan bahwa Pemerintah Hindia Belanda juga dalam keadaan perang dengan Jepang.[1] Angkatan perang Jepang tidak menemukan banyak kesulitan dalam merebut daerah jajahan negara-negara Barat di Asia Tenggara, termasuk Kepulauan Indonesia. Angkatan perang Sekutu dari negara “ABDA (America – British – Dutch – Australia), tidak berdaya menghadapi supremasi angkatan laut, udara, dan darat Jepang.
Jawa Barat merupakan daerah penting, karena secara geografis kota Batavia (Jakarta) yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda, terletak disana. Pada malam hari, menjelang 1 Maret 1942, angkatan perang Jepang melakukan pendaratan di Merak dan Teluk Banten serta Eretan Indramayu. gerak majunya ke daerah pedalaman Jawa Barat tidak dapat ditahan lagi.[2] Meskipun diberbagai daerah masih ada perlawanan Belanda, tetapi dikuasainya kota Batavia (Jakarta) yang merupakan pusat pemerintahan Belanda oleh Jepang menandai bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia telah berakhir, yang ditandai dengan perundingan Kalijati. Tetapi sesudah Jepang memerintah, banyak terjadi perubahan-perubahan, diantaranya sistem pemerintahan berubah, nasib rakyat semakin menderita, banyak organisasi Jepang didirikan seperti Seinendan, Keibodan, Fujinkai, Peta, Heiho yang semuanya itu justru menambah kesengsaraan rakyat Indonesia.[3]
Popularitas Jepang sebagai pembebas kolonialisme pada saat pendaratannya di Jawa bulan Maret 1942, tidak lama bertahan karena keadaan kehidupan menjadi lebih buruk oleh pasar gelap, pemerasan dan teror. Kesulitan sosial dan ekonomi akibat perang makin berat. Keperluan Jepang akan bahan logistik dan tenaga dari bangsa Indonesia makin besar. Pada tahun 1944, kegagalan panen padi meluas, tuntutan penyerahan padi pada pemerintah dengan paksa menyebabkan kebencian petani kepada Jepang menjadi-jadi. Gerakan pemberontakan yang kehilangan harapan dari para santri dan petani muncul di Singaparna pada 25 Februari 1944.[4]

  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses masuknya bangsa Jepang ke Jawa Barat?
2.      Bagaimana proses Pemberontakan Singaparna?

  1. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui masuknya Jepang ke Jawa Barat.
2.      Untuk mengetahui proses pemberontakan Singaparna?
BAB II
MASUKNYA JEPANG KE JAWA BARAT


1.    Kapitulasi Kalijati
Pada malam hari, menjelang 1 Maret 1942, angkatan perang Jepang melakukan pendaratan di Merak dan Teluk Banten serta Eretan Indramayu, semuanya merupakan tempat-tempat di Jawa Barat. Karena Jawa Barat merupakan daerah penting, di mana secara geografis kota Batavia (Jakarta) yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda, terletak disana. Selain itu di Jawa Barat merupakan pusat kubu-kubu pertahanan Belanda. Disana terdapat Departement van Ooorlog (DVO Kementrian Peperangan), gudang perbekalan, bengkel-bengkel senjata serta keadaan medannya memberikan kemungkinan untuk mengadakan perlawanan dalam waktu lama.
Setelah pendaratan Jepang di Merak dan Teluk Banten, gerak maju bala tentara Jepang ke pedalaman Jawa Barat tidak dapat ditahan lagi. Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang, menjadikan Bandung dan sekitarnya sebagai kubu pertahanan terakhir. Pada tanggal itu juga Bogor dikuasai oleh Jepang kemudian Sukabumi dan Cianjur. Gerakan tentara Jepang tidak dapat ditahan lagi. Mereka terus maju ke Kalijati dan sebagian menuju Subang. Kemunculan tentara Jepang menimbulkan kepanikan pihak Belanda. Pada tanggal 5 Maret 1942, Jepang dengan mudah merebut pangkalan udara Kalijati.
Kolonel Shoji yang bermarkas di pusat perkebunan P & T Land Subang mulai mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Bandung. Pasukan tersebut sengaja tidak menempuh jalan besar, tetapi menyebar melalui kebun-kebun teh, sehingga benteng-benteng pertahanan Belanda tidak dapat digunakan untuk menghantam musuh. Dengan menggunakan taktik bertempur dalam jarak dekat, Jepang berhasil melumpuhkan benteng-benteng pertahanan Belanda di sepanjang jalan Subang menuju Bandung. Pertempuran ini pun berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda. Tidak lama kemudian tiba utusan Belanda mengajak untuk berunding.
Pada mulanya perundingan antara pimpinan Hindia Belanda dengan Komandan Tentara Pendudukan Jepang akan diadakan di markas Kolonel Shoji di Jalan Cagak, yaitu sebuah tempat di Subang, tetapi kemudian terjadi perubahan tempat perundingan yaitu di Kalijati. Dipilihnya Kalijati sebagai tempat perundingan oleh Jepang, diharapkan akan memberikan efek psikologis kepada perutusan dari pihak Belanda. Dalam perundingan tersebut pihak Belanda ialah Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Letnan Jenderal Ter Poorten, sedangkan dari pihak Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura, panglima yang memimpin pendaratan angakatan perang Jepang di Jawa. Setelah melalui pembicaraan yang panjang, secara resmi pihak Belanda menyatakan diri menyerah tanpa syarat kepada pihak Jepang. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Maret 1942, yaitu tujuh hari berselang setelah peristiwa pendaratan di Banten dan Eretan. [5]

2.    Sikap Rakyat terhadap Kekuasaan Jepang
Penduduk Jawa Barat merasa kagum terhadap kemenangan yang telah dicapai oleh pihak Jepang. Sebaliknya, pihak Belanda jatuh dalam pandangan rakyat. Tentara Jepang dipandang sebagai permbebasan dari penjajahan Barat, apa lagi mereka untuk beberapa waktu membiarkan rakyat mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang pada masa penjajahan Belanda sangat terlarang. Jepang telah memberi kepercayaan kepada golongan terpelajar bangsa Indonesia untuk menduduki tempat-tempat penting di bidang pemerintahan yang pada zaman penjajahan Belanda tidak mungkin dijabat oleh orang-orang Indonesia. Tindakan Jepang itu disebabkan banyak pos-pos yang kosong yang tadinya diduduki oleh orang-orang Belanda. Pos-pos tersebut tidak mungkin diisi seluruhnya oleh bangsa Jepang karena jumlah mereka terbatas. Tindakan tersebut dirasakan oleh pihak Indonesia sebagai suatu penghargaan.
Popularitas Jepang sebagai pembebas kolonialisme pada saat pendaratannya di Jawa bulan Maret 1942, tidak lama bertahan karena keadaan kehidupan menjadi lebih buruk. Kesulitan sosial dan ekonomi akibat perang makin berat. Keperluan Jepang akan bahan logistik dan tenaga dari bangsa Indonesia makin besar. Pada tahun 1944, kegagalan panen padi meluas, tuntutan penyerahan padi pada pemerintah dengan paksa menyebabkan kebencian petani kepada Jepang menjadi-jadi.[6] Apa lagi Jepang dalam keadaan perang dengan pihak sekutu. Rakyat dan kekayaan alam Indonesia termasuk Jawa Barat mulai dieksploitasi untuk kepentingan peperangan menentang sekutu. Rakyat banyak yang dijadikan romusha, hasil bumi dimanfaatkan bagi kepentingan Jepang, sedangkan rakyat dibiarkan kekurangan. Semua tindakan itu menimbulkan kekecewaan di pihak rakyat.
Menurut banga Jepang, kaisar Jepang merupakan keturunan dewa, rakyat wajib mentaati perintahnya, mereka wajib memuliakannya dengan membungkukkan diri dihadapannya. Kewajiban tersebut juga dikenakan kepada rakyat Indonesia. Tidak sedikit di kalangan bangsa Indonesia yang keberatan melakukannya, karena rasa keagamaannya tersinggung. Rasa ketidakpuasan ini di beberapa daerah telah menimbulkan perlawanan-perlawanan, salah satu diantaranya adalah perlawanan yang dipimpin oleh K.H.Z. Mustofa di Singaparna, Tasikmalaya. [7]

BAB III
PEMBERONTAKAN SINGAPARNA


1.    Kyai Haji Zaenal Mustofa
Sebagai ilmu, sejarah dituntut untuk memberikan kejelasan (explanation) dari peristiwa yang diungkap, di mana letak keunikan atau makna suatu peristiwa sejarah itu.[8] Oleh karena itu sebelum memaparkan mengenai kronologi dan peranan K.H. Zaenal Mustofa terhadap pendudukan Jepang, perlu dikemukakan terlebih dahulu pelbagai hal tentang K.H. Zaenal Mustofa, seperti status sosialnya, peranan dan aktivitasnya sehingga ia berani memimpin para petanidan santrinya untuk mengadakan perlawanan terhadap Jepang yang pada waktu itu sedang berkuasa.
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Ia lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra dari pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya. Ada yang menyebutkan ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedi Islam menyebutkan tahun 1907. Sementara Zaenal Mustafa tahun 1899 – 1944 diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat. Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.[9]
Pada waktu kecil K.H.Z. Mustofa bernama Umri atau Hadaemi, dididik dan belajar agama Islam dari ayahnya sendiri. Ia dibesarkan dalam keluarga petani yang sederhana, hidup di daerah pedalaman yang jauh dari kesibukan-kesibukan kota.[10] Ia memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat, dan meneruskan pelajarannya ke berbagai pesantren. Setelah menuntut ilmu di pesantren-pesantren, ia kembali ke kampung halamannya dan mendirikan sebuah pesantren yang bernama “Sukamanah”. pesantren ini dipimpinnya selama 17 tahun, yaitu sejak 1927 sampai dengan perlawanannya terhadap Jepang bulan Februari 1944.[11] Selama ia memimpin pesantren Sukamanah, tidak sedikit jasa-jasanya dalam memperbaharui dan merombak sistem lama dalam pendidikan agama. K.H.Z. Mustofa adalah seorang kyai pertama yang merombak sistem pendidikan di pesantren dan seorang Kyai yang tidak fanatik pada masanya serta menerapkan pendidikan di pesantren secara modern. K.H.Z. Mustofa termasuk dalam ulama independen, ialah ulama yang berada dalam lingkungan masyarakat, pelindung rakyat, dan pendiri pesantren.[12]
Pada tahun 1927, ia sudah mulai terjun ke kancah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai langkah pertama, K.H.Z. Mustofa mengadakan revolusi dalam pengajaran agama Islam. Langkah kedua, pada tahun 1933  . Mustofa memasuki sebuah organisasi masyarakat Islam yaitu Jama’iah NU dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya. Dengan masuk ke dalam Jama’iah NU ini pandangannya lebih terbuka terhadap kekejaman dan tekanan penjajah. Aktivitas K.H.Z. Mustofa semakin lama semakin jelas dan secara terang-terangan, ia mulai mengorganisir rapat akbar (Tabligh) di tempat sekitar Priangan Timur. Pengaruh  K.H.Z. Mustofa makin lama semakin bertambah besar dikalangan masyarakat terutama di kalangan para pemuda yang terdiri dari santri dan petani, hal ini mulai menggelisahkan pemerintah Belanda. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiyai yang pro Belanda.
Ketika perang Dunia II pecah, pada 17 November 1941 K.H.Z. Mustofa bersama kawan-kawan ditangkap oleh Pemerintah Belanda. Untuk beberapa waktu dibebaskan kembali dan menjelang masuknya Jepang yaitu pada bulan Februari 1942, ia ditangkap kembali oleh Belanda dan dimasukkan dalam penjara Ciamis, dengan tuduhan yang sama yaitu telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.[13]
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, K.H.Z. Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH.Z. Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari pada imperialisme Belanda.[14]
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) terjadi perubahan posisi dan peranan ulama dalam masyarakat. Pemerintah pendudukan Jepang justru merangkul golongan ulama, mereka dijadikan pegawai pada kantor-kantor pemerintah bala tentara Jepang, khususnya pada kantor agama pusat (Shumubu) dan Jawatan agama Karesidenan (Shumuka) terus ke bawah sampai ke tingkat desa.[15] Walaupun pemerintah Jepang mendirikan kedudukan kepada para ulama, tetapi pesantren Sukamanah di bawah pimpinan  K.H.Z. Mustofa tidak berorientasi kepada kekuasaan dan pemerintahan. K.H.Z. Mustofa dan para ulama menyadari bahwa pendudukan Jepang lebih kejam daripada Belanda. Selain itu, para ulama menolak kerjasama dengan Jepang karena hendak mengintroduksikan paham Shinto di kalangan muslim, seperti tercermin dari perintah Seikerei (membungkukkan badan ke arah matahari terbit).


2.    Faktor Pendorong Terjadinya Pemberontakan Singaparna
Peristiwa Pemberontakan Singaparna mempunyai dasar keagamaan dan kebangsaan yang kuat. Cita-cita negara Islam dijunjung tinggi dalam hati sanubari rakyat sesuai dengan ajaran agama. Demikian pula semangat kemerdekaan sangat tebal dalam masyarakat Singaparna, yang terkenal kebenciannya terhadap penjajahan. Pada masa kolonial Belanda pun daerah ini mendapat pengawasan yang keras. Rakyat teguh beragama, tetapi teguh pula memegang kebangsaannya.
Di atas dasar-dasar suci inilah tumbuh alasan-alasan yang sangat menggetarkan hati untuk memberontak terhadap totaliter Jepang. Adanya “Seikerei” yaitu membungkuk (menghormat) kearah Tokyo. Hal inilah yang sangat dibenci oleh santri-santri karena berarti mereka disuruh menyembah matahari. Cara menyembah ini melukai hati umat yang beragama Islam, seolah-olah merubah arah qiblat dari Tanah Suci ke Jepang. Cita-cita “Dairul Islam”, yang telah meluas dan mendalam di kalangan rakyat, tidaklah mungkin mengalah kepada gerakan “seikerei” ini yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang pada tiap upacara.
Api perlawanan suci yang telah menyala sedemikian dalam di hati sanubari penganut Islam di daerah ini, ditumpahi pula oleh minyak romusha dan pengumpulan pada dan beras soal Romusha sangat diderita oleh rakyat sebagai pekerja paksaan di bawah ancaman bayonet, yang amat mengganggu dalam kekeluargaan dan kedesaan. Demikian pula soal pengumpulan padi, Jepang sama sekali tidak mengindahkan penghidupan rakyat desa. Akibat perintah keras dari militer Jepang terjadilah tindakan pemungutan dari syucokan melalui kenco (bupati), gunco (wedana), dan sonco (camat) sampai kepada kuco (lurah). Daerah yang biasanya kelebihan bahan makanan kini menderita kekurangan. Para petani tidak dapat lagi mengecap hasil keringatnya, karena hampir seluruh hasilnya diangkut oleh pemerintah Jepang.[16]
Adapun hal yang menjadi latar belakang  terjadinya Pemberontakan Singaparna diantaranya, yaitu: [17]
1.    Adanya “Seikerei” yaitu mengheningkan cipta membungkuk (menghormat) kearah Tokyo. Hal inilah yang sangat dibenci oleh santri-santri karena berarti mereka disuruh menyembah matahari.
2.    Adanya kewajiban meyerahkan beras kepada Jepang pada setiap panen sebanyak 2 kwintal. Hal ini dirasakan oleh petani desa Cimerah dan daerah sekitar Singaparna sangat berat.
3.    Terjadinya penipuan terhadap wanita-wanita dan gadis-gadis yang dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo, sehingga banyak yang mendaftarkan diri. Tapi sebenarnya wanita-wanita tersebut dikirim ke daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya untuk menghibur tentara-tentara Jepang.

3.    Kronologi Pemberontakan Singaparna
1)   Pemberontakan Pertama
Pada tahun 1943  K.H.Z. Mustofa bersama para pengikutnya, mulai menyusun rencana untuk mengadakan perlawanan. Namun demikian pihak Jepang yang tidak pernah terlepas perhatiannya terhadap pesantren Sukamanah dapat mencium rencana perlawanan  K.H.Z. Mustofa bersama pengikutnya.[18] Rencana ini akan dimulai kira-kira pada tanggal 1 Maulud 1363 yang jatuh pada tanggal 25 Februari 1944. Untuk melaksanakan rencana ini para pengikut K.H.Z. Mustofa mengadakan persiapan yang sangat sederhana. Mereka menggunakan bambu runcing dan golok-golok terbuat dari bambu, karena senjata-senjata tajam yang terbuat dari besi banyak dirampas oleh Jepang. Akan tetapi hal ini tidak berpengaruh karena ternyata santri-santri di Sukamanah pun bangkit untuk mengadakan perlawanan. Untuk memperkuat persenjataan, para santri mempergiat latihan-latihan bela diri.
Pemerintah Jepang mengetahui kegiatan ini dari laporan mata-matanya, dan bermaksud mengadakan penyerangan. Pesantren Sukamanah pun bersiap-siap apabila Jepang tiba-tiba menyerang. Pemimpin-pemimpin dari kelompok Pesantren Sukamanah terdiri dari: Domon, Abdulhakim, Najamuddin, dan Ajengan Subki. Seluruh kelompok ini dikepalai oleh K.H.Z. Mustofa dan dibantu oleh tangan kanannya Najamuddin. Senjata K.H.Z. Mustofa ialah sebuah tongkat dari Kalimantan yang bernama “Ki Ulin”. Dalam pemberontakan ini, K.H.Z. Mustofa tidak meminta bantuan kepada pesantren lain, karena apabila pemberontakan ini mengalami kegagalan, Jepang tidak akan menghancurkan pesantren lainnya. Wilayah perang dibagi dua yaitu bagian Utara dan bagian Selatan, sedangkan pasukan induk berada di Kampung Cihaur, kira-kira 100 meter dari kompleks Pesantren Sukamanah.[19]
Dalam meredam pemberontakan ini, pada hari Kamis tanggal 24 Februari 1944 (satu hari sebelum terjadi peristiwa), Jepang mengirim utusan, ialah goto-sidokan dari kepolisian Tasikmalaya dengan dengan beberapa keiboho Indonesia ke Sukamanah untuk mengadakan perundingan dengan K.H.Z. Mustofa. Goto-sidokan dengan rombongannya terus dilucuti senjata dan pelurunya, selanjutnya ditahan. Hanya Goto-sidokan sendiri yang disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk menyampaikan “pesan” (ultimatum) dari  K.H.Z. Mustofa kepada pemerintah Jepang, supaya pada hari Jumat tanggal 1 Maulud, Pulau Jawa dimerdekakan. Jika tidak, maka akan terjadi pemberontakan (pertempuran).
Keesokan harinya datang rombongan Jepang kepada  K.H.Z. Mustofa di Sukamanah untuk mengadakan perundingan, ia adalah kempeitaico Tasikmalaya (Kobayashi), kempeitaico Garut, seorang guru bahasa dan beberapa orang serdadu Jepang. Sikap 4 orang kempeitaico[20], yang memanggil dirasakan menyinggung perasaan ajengan Najmuddin dengan kawana-kawan sehingga dengan keadaan terpaksa para santri Sukamanah melakukan kekerasan juga, meskipun kepada bangsanya sendiri. Karena sudah terkepung oleh para santri, akhirnya Jepang menyerahkan senjatanya,[21] dan mereka ditahan sehari semalam. Keesokan harinya barulah petugas-petugas pemerintah Jepang itu dizinkan pulang.

2)   Pemberontakan kedua
Tanggal 25 Februari 1944 hari Jumat yang bertepatan dengann tanggal 1 Maulud 1363 tahun Alif merupakan hari bersejarah bagi Pesantren Sukamanah khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Pada waktu K.H.Z. Mustofa mengucapkan khotbah terakhir, terdengar suara kendaraan menuju kompleks pesantren. Tetapi K.H.Z. Mustofa menghimbau kepada para santrinya untuk tetap tenang di tempat. Setelah selesai sholat Jumat, K.H.Z. Mustofa keluar dari mesjid diikuti oleh para pengikutnya dan Najamuddin. Salah satu keempat opsir Jepang itu melambaikan tangan sebagai perintah agar K.H.Z. Mustofa datang kepadanya. Dengan menggunakan tongkatnya, K.H.Z. Mustofa berjalan dengan tenang menuju keempat opsir itu. Opsir-opsir Jepang itu datang bemaksud untuk menyampaikan bahwa Sukamanah telah berbuat jahat menentang Jepang, tidak mau bekerjasama dengan Jepang dan pimpinan Sukamanah tidak mau menurut perintah negara untuk menghadap ke Tasikmalaya. Pememrintah Jepang akan mengampuni mereka apabila mereka mau bekerjasama dengan Dai Nippon.
Setelah opsir Jepang itu menyampaikan ultimatumnya, maka Panglima pasukan Sukamanah Najamuddin atas nama K.H.Z. Mustofa menyambut dengan tegas dan singkat, antara lain jawabannya adalah:
“Baik besok kita berangkat ke Tasikmalaya untuk menghadap dan menyerahkan senjata-senjata api yang telah kami rampas, akan tetapi kepala tuan Nippon yang empat orang ini tinggal di Sukamanah sebagai gantinya”.[22]

Jawaban Najamuddin ini mengartikan bahwa pihak Sukamanah tetap akan mengadakan perlawanan. Karena emosi yang tak tertahankan lagi, pasukan Sukamanah mulai menyerang dan terjadi pergulatan dan berakhir dengan matinya tiga opsir Jepang, yang seorang lagi dapat melarikan diri.
Setelah kejadian itu, keadaan mulai tenang kembali. Sementara itu K.H.Z. Mustofa mulai mengatur siasat untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan pembalasan Jepang. Induk pasukan Sukamanah yang berkekuatan 2000 orang di tempatkan di sebalah Selatan Kampung Cihaur. Disini letaknya “Komando Post” yang dipimpin oleh tangan kanannya Najamuddin bersama stafnya. Komando K.H.Z. Mustofa terhadap santri-santrinya berpesan,
“Jangan berperang dengan bangsa sendiri, sebab pandangan dan cita-cita kita bukanlah untuk bermusuhan dengan bangsa sendiri, melainkan perjuangan ini semata-mata untuk menentang dan menyingkirkan penjajah. Dan dalam perjuangan ini diharapkan supaya santri-santri dan alim ulama ada dalam barusan anti penjajah.”[23]


Setelah kejadian itu, sorenya kira-kira pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah terkejut melihat yang dihadapinya adalah bangsanya sendiri. Beberapa orang dari garis depan segera melaporkan hal tersebut kepada K.H.Z. Mustofa. Mereka menyadari bahwa Jepang telah mempergunakan taktik mengadu-dombakan pihak Sukamanah dengan bangsa sendiri.
Ternyata K.H.Z. Mustofa memerintahkan agar santri-santri dan pengikutnya menghindarkan adanya perlawanan. Tetapi sewaktu kurir yang membawa perintah itu sedang dalam perjalanan menuju garis depan, pihak Jepang sudah mulai melepaskan tembakan dan menghujani pasukan Sukamanah. Akhirnya pertempuran dengan bangsa sendiri tidak dapat dihindari lagi, pasukan Sukamanah terpaksa membela diri dan dengan demikian berkobarlah perlawanan dengan jarak dekat.
Setelah pertempuran ini berlangsung selama kurang lebih 90 menit, maka pertahanan Sukamanah satu demi satu dapat dilumpuhkan dan pasukan yang tersisa terpaksa mengundurkan diri. Kemudian kira-kira pukul 17.30 semua tempat pertahanan Sukamanah telah lumpuh. [24] Dalam pertempuran ini beratus-ratus orang dari pihak Sukamanah tewas, sedangkan K.H.Z. Mustofa ditawan dan dibawa ke kantor kempeitai Tasikmalaya.[25]

4.    Akhir Pemberontakan Singaparna
Setelah pertempuran selesai, KH.Z. Mustofa memerintahkan kepada para santri dan pengikut-pengikutnya untuk mundur dan menyelamatkan diri. Pihak Jepang memulai untuk melakukan pembersihan besar-besaran, diantaranya: asrama (pondok-pondok) dirusak, barang-barang perhiasan, buku-buku dan kitab-kitab milik santri-santri, rakyat dan pemimpin-pemimpin Sukamanah dirampas dan diangkut ke Tasikmalaya. Hal itu dianggap sebagai harta “gonimah” atau harta rampasan dari penjahat dan musuh Pemerintah Dai Nippon.
Keesokan harinya Jepang melanjutkan pembersihannya. Selain Angkatan Darat, Angkatan Udara pun ikut dikerahkan. Lima buah pesawat dipergunakan Jepang untuk mengawasi dari udara dan untuk menakut-nakuti rajyat. Disebarkannya pamflet-pamflet yang berisi ultimatum bahwa semua orang yang membantu atau bersimpati kepada gerakan Sukamanah dianggap mata-mata musuh dan memusuhi Jepang. Mereka yang membantu menyembunyikan pelarian-pelarian dari Sukamanah diancam hukuman mati. Dengan demikian para pengikut K.H.Z. Mustofa menjadi burunon umum.
Pada tanggal 26 Februari 1944, penjara Tasikmalaya sudah penuh sesak, lebih kurang 700 sampai 800 orang tahanan dijejalkan ke dalamnya. Pada suatu malam tanggal 27 Februari 1944, datang intruksi rahasia dari K.H.Z. Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yang antara lain berisi:
1.        Di dalam pemeriksaan segenap jawaban harus dipikirkan sedemikian rupa sehingga dapat menyelamatkan diri.
2.        Dilarang untuk memberi pengakuan terhadap pembunuhan dan ikut bertempur melawan Nippon terutama dalam hal-hal yang bersangkutan dengan matinya tiga orang opsir Jepang yang pertama.
3.        Pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul oleh “sendiri” dan santri-santri yang telah betul-betul diketahui dengan pasti gugur dalam pertempuran.
4.        Tenanglah, kuatkanlah jiwamu, jangan sekali-kali putus asa, serahkan segala puji kepada Allah dan teruskan perjuanganmu.[26]
Berkat adanya intruksi yang tegas ini, pada tanggal 29 Februari 1944 segala pemeriksaan dan siksaan dari pihak Jepang dihadapi oleh semua terdakwa Sukamanah dengan penuh ketabahan dan keberanian. Pemeriksaan ini berlangsung kurang labih tiga bulan. Dan hasilnya diumumkan pada pertengahan bulan Mei 1944, dengan penjelasan sebagai berikut:
1.        Golongan yang tidak bersalah.
2.        Golongan yang mempunyai sangkut paut dengan pemberontakan tetapi tidak ikut aktif.
3.        Pimpinan pemberontakan dan mereka yang dituduh aktif dalam pembunuhan opsir-opsir jepang dan ikut aktif dalam pertempuran melawan pasukan bersenjata Dai Nippon.

Golongan pertama dikembalikan ke kampung masing-masing. Golongan kedua berjumlah 79 orang, golongan ini dikenai hukuman 5-7 tahun penjara di penjara Sukamiskin Tasikmalaya. Golongan ketiga berjumlah 23 orang termasuk diantaranya adalah K.H.Z. Mustofa. Setelah itu, tiak diketahui secara pasti kabar berita tentang mereka. Penyelidikan selanjutnya ada yang menyebutkan bahwa K.H.Z.Mustofa dan beberapa pengikutnya dibunuh oleh Jepang di sekitar Tanjung Priok atau Cilincing. Dalam pemberontakan ini tidak sedikit pengorbanan yang telah diberikan oleh pejuang-pejuang Sukamanah dalam usaha melawan penjajah. Kerugian-kerugian jiwa bagi Pesatren Sukamanah khususnya masyarakat Singaparna pada umumnya, antara lain:
1.      Gugur di dalam pertempuran 86 orang
2.      Meninggal di Singaparna karena disiksa 4 orang
3.      Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa 2 orang
4.      Hilang tak tentu rimbahnya, termasuk K.H.Z. Mustofa berjumlah 23 orang
5.      Meninggal di dalam Rumah penjara Sukamiskin Bandung berjumlah 38 orang.
6.      Cacat (buta, hilang ingatan, dan lain-lain) berjumlah 10 orang.
Jumlah semuanya adalah 163 orang.[27] selain kerugian jiwa, ada lagi kerugian materil yang tidak dapat ditentukan berapa jumlahnya. Tetapi selain ada kerugian jiwa dan materil, ada pula keuntungannya bagi masyarakat Singaparna khususnya yang disebabkan oleh perlawanan K.H. Z. Mustofa, diantaranya Pasukan Sukamanah sudah dapat membunuh opsir-opsir Jepang walaupun tidak hanya jumlahnya dan menyita sejumlah alat-alat senjata. Memang jika dilihat dari sudut kemiliteran mungkin hasil yang dicapai oleh perlawanan Sukamanah itu tidaklah begitu banyak nilainya, tetapi kejadian ini adalah suatu peristiwa kepahlawanan yang tidak boleh dan tidak dapat dihapuskan dari sejarah. Dan sebagai tanda untuk menghormati K.H.Z. Mustofa, sekarang di Sukamanah telah didirikan SD dan PGAN yang memakai nama K.H.Z. Mustofa.
Demikianlah kegigihan perjuangan K.H.Z. Mustofa sebagai pahlawan agama, dan pahlawanan Tanah Air di dalam merebut hak kemerdekaan bangsanya dari cengkraman penjajah. Namun sampai saat ini, tidak atau belum dapat diketahui dengan pasti tentang K.H.Z. Mustofa, bahkan kuburannya pun tidak diketahui. Akan tetapi nama dan perjuangannya akan tetap hidup menghias lembaran Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Sekalipun peristiwa Sukamanah ini hanya merupakan peristiwa lokal, akan tetapi kejadian itu merupakan satu mata rantai daripada rangkaian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia yang tidak dapat dipisah-pisahkan, serta menjadi kenangan terutama bagi daerah Jawa Barat. Karena peristiwa Sukamanah adalah perlawanan pertama terhadap pemerintah Jepang di daerah Jawa Barat. [28]

BAB IV
KESIMPULAN

1.        Jepang melakukan pendaratan di Jawa Barat pada tanggal 1 Maret 1942, di dareah Merak, Teluk Banten serta Eretan Indramayu. Karena Jawa Barat merupakan daerah penting, di mana secara geografis kota Batavia (Jakarta) yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Belanda menyerah kepada pihak Jepang yang diakhiri dengan perundingan Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942.
2.        Penduduk Jawa Barat menyambut pasukan Jepang karena mereka mampu mengusir Belanda yang dirasa sangat menyisakan penderitaan. Tentara Jepang dipandang sebagai permbebasan dari penjajahan Belanda. Tetapi lambat laun popularitas Jepang sebagai pembebas kolonialisme pada saat pendaratannya di Jawa bulan Maret 1942, tidak lama bertahan karena keadaan kehidupan menjadi lebih buruk. Rakyat dan kekayaan alam Indonesia termasuk Jawa Barat mulai dieksploitasi dan dijadikan pekerja romusha.
3.        Kyai Haji Zaenal Mustofa adalah  adalah seorang kyai pertama yang merombak sistem pendidikan di pesantren dan seorang Kyai yang tidak fanatik pada masanya serta menerapkan pendidikan di pesantren secara modern. K.H.Z. Mustofa adalah seorang pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang.
4.        Pemberontakan Singaparna dilatarbelakangi oleh paham Seikerei, dimana rakyat Indonesia diwajibkan hormat dan membungkukkan kepada Kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan dewa. Adanya kewajiban meyerahkan beras kepada Jepang pada setiap panen sebanyak 2 kwintal Terajdinya penipuan terhadap wanita-wanita dan gadis-gadis yang dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo, tapi sebenarnya wanita-wanita tersebut dikirim ke daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya untuk menghibur tentara-tentara Jepang.
5.        Pemberontakan Singaparna terjadi dua kali, yang pertama pasukan Sukamanah yang dipimpin oleh K.H.Z. Mustofa menyerang opsir-opsir Jepang hingga tewas. Kedua, Pasukan Sukamanah melakukan perlawanan dengan pihak Jepang, dimana pihak jepang tesebut merupakan bangsanya sendiri. Dan Pihak Sukamanah mengalami kekalahan.
6.        Pemberontakan Singaparna berakhir dengan kekalahan pada pihak Sukamanah, K.H.Z. Mustofa dan para pengikutnya di tawan oleh Jepang dan dibunuh, tetapi hingga sekarang tidak atau belum diketahui dimana makam K.H.Z. Mustofa dan para pengikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

A. H. Nasution. 1991. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid I Proklamasi. Cetakan ke-3. Bandung: Angkasa.
A. G. Pringgodigdo. 1952. Tatanegara di Jawa pada waktu pendudukan Jepang. Yoyakarta: Jajasan Fonda UN. Gajah Mada.
A. Sobana Hardjasaputra, Bupati-bupati Priangan: Kedudukan dan Peranannya pada abad 19, Yogyakarta: Posis Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.
Anhar Gonggong. 1990. Seminar Sejarah Nasional V. Subtema Sejarah Perjuangan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Edi S. Ekadjati, dkk. 1990. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ki Santri. Jumat, 1 Februari 2008. Kiai Haji Zaenal Mustofa. Terdapat dalam http://sundaislam.wordpress.com/2008/02/01/kiai-haji-zaenal-mustofa/. Diakses tanggal 15 April 2010. Pukul 09.38 WIB.Diakses tanggal 15 April 2010. Pukul 09.38 WIB.
Kosoh S, Dkk. 1994. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta:Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayanan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Nourazzaman Shiddiq. 1985. Ulama Islam Perspektif Sejarah Pesantren. No VI Vol II.
R. Moh. Ali. 1972. Sejarah Jawa Barat, Suatu Tanggapan. Pemerintah Daerah Jawa Barat.
Syarief Hidayat. Mayro Inf. 1961. Riwayat Singkat Perjuangan K.H.Z. Mustofa. Tasikmalaya: Soetraco.









LAMPIRAN


Romusha
Gambar 1
Kekejaman Jepang pada rakyat Indonesia (tahun 1944)


zainal
Gambar 2
Ki Haji Zainal Mustofa (tokoh perlawanan Singaparna)
pada tahun 1944

Gambar 3
Silsilah Kyai Haji Zaenal Mustofa

peta

Gambar 3
Peta perlawanan Singaparna di Tasikmalaya Jawa Barat (No 2)

Gambar 4
Denah Pemberontakan Singaparna
.




[1] A. G. Pringgodigdo, Tatanegara di Jawa pada waktu pendudukan Jepang, Yoyakarta: Jajasan Fonda UN. Gajah Mada, 1952, hlm. 4.
[2] Kosoh S, Dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta:Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayanan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994, hlm. 203-204.
[3] Anhar Gonggong, Seminar Sejarah Nasional V. Subtema Sejarah Perjuangan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1990, hlm. 80-81.
[4] Edi S. Ekadjati, dkk. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990 hlm 230-231
[5] Kosoh S, Dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta:Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayanan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994, hlm. 203-204.
[6] Edi S. Ekadjati, dkk. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990 hlm 230-231.
[7] R. Moh. Ali, Sejarah Jawa Barat, Suatu Tanggapan, Pemerintah Daerah Jawa Barat, 1972, hlm 260-265
[8] A. Sobana Hardjasaputra, Bupati-bupati Priangan: Kedudukan dan Peranannya pada abad 19, Yogyakarta: Posis Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, hlm. 1.
[9] Ki Santri. Jumat, 1 Februari 2008. Kiai Haji Zaenal Mustofa. Terdapat dalam http://sundaislam.wordpress.com/2008/02/01/kiai-haji-zaenal-mustofa/. Diakses tanggal 15 April 2010. Pukul 09.38 WIB.Diakses tanggal 15 April 2010. Pukul 09.38 WIB.
[10] Wawancara K.H. Wahab Muchsin tanggal 3 Juli 1968, Ajengan Pesantren Sukahideng (masih keturunan K.H.Z. Mustofa). Dikutip dari Kosoh S, Dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta:Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayanan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994, hlm. 186.
[11] Syarief Hidayat, Mayro Inf, Riwayat Singkat Perjuangan K.H.Z. Mustofa, 1961, Tasikmalaya: Soetraco.
[12] Pada masa Penjajahan Belanda, ulama di Indonesia tebagi atas 2 kelompok, yaitu ulama dependen dan ulama independen. Ulama dependen ialah ulama yang menjabat kedudukan sebagai penghulu atau qadli, yang diangkat oleh Gubernur Jenderal melalui kepala daerah setempat, Lihat Nouruzzaaman Shiddiqi, Ulama Islam Prespektif Sejarah Pesantren, 1985, hlm. 20. Dengan kata lain ulama dependen adalah pejabat resmi di lingkungan pemerintah kolonial Belanda. Ulama independen ialah ulama yang berada dalam masyarakat di luar pemerintah. Lihat pada Kosoh S, Dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat,1994, hlm. 188.
[13] Keterangan tentang jalan perlawanan K.H. Zainal Mustofa dan perlawanan lainnya terhadap Jepang diperoleh dari R. Moh. Ali, Sejarah Jawa Barat, Suatu Tanggapan, Pemerintah Daerah Jawa Barat, 1972, hlm 260-265
[14] Ki Santri. Jumat, 1 Februari 2008. Kiai Haji Zaenal Mustofa. Terdapat dalam http://sundaislam.wordpress.com/2008/02/01/kiai-haji-zaenal-mustofa/. Diakses tanggal 15 April 2010. Pukul 09.38 WIB.Diakses tanggal 15 April 2010. Pukul 09.38 WIB.
[15] Nourazzaman Shiddiq, Ulama Islam Perspektif Sejarah Pesantren, No VI Vol II, 1985, hlm. 17.
[16] A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid I Proklamasi, Cetakan ke-3, Bandung: Angkasa, 1991, hlm 112-113.
[17] Anhar Gonggong, Seminar Sejarah Nasional V. Subtema Sejarah Perjuangan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1990, hlm. 191-194.
[18] Kosoh S, Dkk. 1994. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta:Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayanan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
[19] Anhar Gonggong, 1990, op. cit., hlm. 195-196.
[20] A. H. Nasution, 1991, op. cit., hlm. 113-115.
[21] Syarief Hidayat, 1961, op. cit., hlm. 45.
[22] Ibid., hlm. 49.
[23] Syarief Hidayat, Mayro Inf, Riwayat Singkat Perjuangan K.H.Z. Mustofa, 1961, Tasikmalaya: Soetraco, hlm. 50.
[24] Anhar Gonggong, op. cit., 1990, hlm. 200-201.
[25] A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid I Proklamasi, Cetakan ke-3, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 115.
[26] Syarief Hidayat, 1961, op. cit., hlm. 52.
[27] Syarief Hidayat, 1961, op. cit., hlm. 55.
[28] A. H. Nasution, 1991, op. cit., hlm 51.