Relativisme Dalam Sejarah

RELATIVISME DALAM SEJARAH
Dalam rangka untuk mengimbangi sikap intoleransi dan kecilnya saling pengertian yang ditunjukkan masyarakat pada kultur lain, maka terdapat ide dan argumen perlunya menyadari adanya relativitas. Relativisme menekankan pada adanya fakta bahwa seluruh kultur manusia pada dasarnya sah dan legitimate dan masing-masing memiliki integritas esensialnya sendiri. Karena bersifat selalu berbeda satu sama lain, maka dengan sendirinya tidak ada satupun yang mesti jadi preferensi. Preferensi kita, tentunya masing-masing dari kita memiliki preferensi, hanyalah membuktikan bahwa nilai-nilai dan pilihan-pilihan kita telah dibentuk oleh budaya kita sendiri. Karena itu, dari perspektif relativisme sikap dan perilaku manusia dalam sebuah masyarakat harus dinilai dengan standar kultural masyarakat yang bersangkutan, tidak oleh standar yang lain.
Satu hal yang mesti dicatat bahwa kita cenderung menjadi etnosentris ketika memberi penilaian terhadap masyarakat dan budaya lain dengan standar norma-norma dan budaya kita sendiri. Kita memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa apa yang kita tahu dan terima adalah yang terbaik, dan apa yang tampak berbeda dan aneh adalah tidak berguna dan inferior.
Pada waktu akhir, telah ada seruan-seruan dalam lingkungan tertentu yang menuntut diadakannya criteria yang pasti bagi penelitian pengalaman sejarah. Seruan tersebut bias berupa tuntutan digunakannya nilai-nilai dan kemutlakan etis. Jelaslah bahwa sejarawan harus mengetahui “seharusnya” dan “tentunya” daripada sejarah, lebih baik ia mengulas pengaruh relative daripada individu-individu dan relative pentingnya gagasan-gagasan serta peristiwa tertentu. Barangkali kemutlakan sejarah dapat ditemukan didalam “seratus buku yang paling baik,” “individualitas sejarah,” “kearifan dalam dari abad ke abad,”  dengan perkataan lain, didalam sejarah agama, puisi, filsafat, seni dan manifesto-manifesto politik yang besar. Meskipun penggarapan seperti itu tampak jarang dilakukan, namun patut dicatat bahwa Troeltsch, Meineeke dan Mannhein, walaupun terkenal studinya mengenai gagasan-gagasan yang berubah, tetap percaya bahwa nilai-nilai mutlak akhirnya dapat dicapai. Dan Beard telah menunjukkan, bahwa gagasan relative sejarah, jika kaum relative benar, juga harus bersifat relative sendiri, dank arena itu pada akhirnya juga akan lenyap.
Sementara itu, sejarawan lain terpaksa harus mengarang dengan ukuran-ukuran nilai  sebagaimana yang kini dimilikinya. Mungkin juga beberapa sejarawan dapat mempertimbangkan subjek-subjek tertentu tanpa memperlihatkan apakah mereka menganggapnya baik atau buruk, indah atau jelek. Tetapi tidak dapat dibayangkan seorang sejarawan yang serius akan memperbincangkan apa pun tanpa ia menganggapnya benar atau tidak benar, dan sebagaimana telah ditunjukkan, ia tidak akan mampu mengadakan seleksi, penyusunan atau pemberian penekanan yang layak kepada penyajiannya, jika ia tidak mengambil keputusan mengenai apa yang penting dan yang tidak penting. Karena itu tampaknya secara teoritis mungkin bagi sejarawan untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang penting dan yang tidak penting, denga  criteria yang tidak terikat dengan nilai-nilai etis dan estesis. Namun tidak seorang sejarawan pun yang dalam kenyataannya berhasil melakukan hal tersebut. Jika nilai-nilai mereka tidak secara eksplisit masuk kedalam pertimbangan-pertimbangannya, maka masuknya adalah secara implicit atau tudak sadar
Sejarah adalah perubahan. Dibalik perubahan ada kesinambungan antara kontinuitas dan diskontinuitas sebagai menifestasi dari waktu sejarah. Untuk mencermati sejarah Indonesia modern dalam perkembangan sejarah penulisan memiliki relevansi pada perkembangan historiografi dunia, khususnya di Prancis. Aliran Annales muncul di Prancis pada tahun 1929, merupakan pelopor penting dalam perkembangan historiografi dan sebagai suatu revolusi penulisan pada metodologi sejarah. Pada tahun 1947, sebuah buku yang ditulis oleh March Bloch mengenai fungsi ilmu sejarah dan profesi sejarawan. Namun pada tahun 1960-an, para sejarawan mengalami pergolakan tentang hakekat dan fungsi ilmu sejarah. Sejak saat itu muncul beberapa sejarawan baru unutk memperjelas posisi ilmu sejarah dalam khazanah ilmu pengetahuan. Beberpa diantaranya adalah Fernand Braudel (1979), Chris Lorenz (1990), Peter Burger (1992), Chirstopher Llyod (1986), danyang lainnya. Menurut Llyod ada tiga kelompok utama pada teori dan metodologi sejarah yaitu empiris (individualis), struktur fugsionalis (strukturalis) dan strukturis.
Dalam teori dan metodologi sejarah secara epistemologi ada dua aliran yaitu aliran realis dan aliran relativis. Aliran realis yakni para sejarawanyang menganggap bahwa ilmu sejarah adalah obyektif karen bisa menjelaskan realitas sebagaimana adanya dan aliran ini mempelajari sriktur-struktur sosial dan perubahannya. Sedangkan aliran relativis yakni aliranyang menganggap bahwa imu sejarah adalah subyektif karena menurut sejarawan raalitas sejarah tidak bisa diungkapkan secara obyektif yang terletak pada penerimaan dan penolakan terhadap permasalahan sejarah.
Perkembangan historiografi di Prancis tidak jauh beda dengan perkembangan penulisan sejarah di Indonesia walau sifatnya masih pragmatis. Dapat diamati bagaimana buku-buku sejarah kolonial diganti menjadi sejarah Indonesia sentris. Sehingga hal ini kemudian menjadi alasan kenapa sejarah bersifat relativis, dalam hal ini bahwa sejarah menjadi kepentingan pendidikan dan tidak berpatokan padayang lain.
Jadi untuk menentukan syarat ilmu pengetahuan ilmiah dalam menanggapai perdebatan dari kalanhan ilmuwan mengenai sejarah antara lain:
1.      Pengetahuan yang dicapai secara metodis dan berhubungan secara sistematis. Ilmu sejarah memilki metode seperti: Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.
2.      Terdiri dari sekelompok besar dari kebenaran universil dan bukannya dari kebenaran-kebenaran khusus.
3.      Mengadakan ramalan-ramalan yang gemilang unutk menguasai jalannya peistiwa dimasa mendatang.
4.      Bersifat obyektif dan dapat diterima oleh umum dengan adanya bukti-bukti.
5.      Memberikan faedah yang praktis. Dalam sejarah bersifat edukatif, sebagi sumber i9nspirasi, perbandingan dan Guide to action
Sebagai salah satu jalan untuk menentang sikap sempit etnosentrisme, relativisme dapat membebaskan dan dapat menghindari konflik dan ketegangan kecil antar-umat yang tidak perlu. Ia dapat membebaskan kita dari ketidakpedulian dan arogansi pola pemikiran bahwa budaya dan nilai-nilai yang kita anut adalah yang terbaik. Relativisme mengajarkan kita berbagai cara untuk menjadi manusia beradab yang telah diciptakan dan dielaborasi, dinilai dan dipertahankan, sepanjang evolusi umat manusia.
Cara-cara yang dilakukan, sepanjang sejarah penyebarannya, adalah untuk memahami. Sedang mempraktikkan relativisme merupakan contoh terbaik dalam kehidupan. Relativisme budaya saya kira merupakan salah satu cara terbaik untuk menuju sikap hikmah (wisdom) atau arif dan bijak dalam melihat perbedaan-perbedaan ‘kecil’ yang, suka atau tidak suka, sudah terjadi dan, dengan demikian, menjadi realitas kehidupan keseharian. Sikap ini tentu saja juga menyangkut cara pandang kita terhadap para pengikut agama lain.
Berbicara tentang teori sejarah tidak lepas dari pembahasan tentang filsafat sejarah, khususnya pada segi perbandingan antara filsafat sejarah spekulatif ( Speculative Philosophy of History ) dan filsafat sejarah kritis ( Critical Philosophy of History ). Filsafat ( FS ) spekulatif cenderung menekankan pada pengetahuan tentang makna dari sejarah sebagai keseluruhan. Menurut aliran ini sejarah harus mempunyai makna yaitu rencana yang universal. Jadi fokus FS spekulatif bukan pada sebab-sebab terjadinya peristiwa. Sejarah yang menyeluruh menghasilkan spekulasi tentang jalannya sejarah ( Nash voI: 1969, xv ). Berbeda dengan FS spekulatif yang dipengaruhi oleh metafisika, FS kritis dipengaruhi oleh epistemologi yaitu berusaha menjawab pertanyaan apakah ada pengetahuan sejarah di dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dan bukan pada makna kejadian-kejadian sejarah . Dengan kata lain fokus pembicaraan FS kritis terletak pada usaha mengetahui proses sejarah dengan pandangan sejarah. Selanjutnya FS kritis lazim disebut teori sejarah, sedangkan FS spekulatif hingga kini biasa disebut filsafat sejarah. Secara singkat dapat dibedakan antara keduanya yaitu FS spekulatif umum sifatnya, menembus ruang dan wktu; sementara FS kritis khusus sifatnya, dan terbatas pada ruang dan waktu ( Nash Vol II: 1969 ).
Selanjutnya dalam hal objek atau sasran garapan, tidak berbeda jauh dengan ilmu sosial, sejarah mempunyai objek yang sama  - yaitu masyarakat. Masyarakat yang mana ? melalui suatu perbedaan mungkin akan memperjelas permasalahannya. Sosiologi mengambil subject matter organisasi sosial, antropologi pada budaya manusis, sementara yang dibicarakan sejarah adalah manusia dalam masa lampaunya atau manusia dalam proses masa lalu menjadi sekarang ( kontinuitas perubahan dalam waktu ). Jika pada umumnya ilmu sosial mencari hukum-hukum yang umum sifatnya ( general laws ) atau membuat formulasi pada tingkah laku manusia; berbeda dengan itu menurut sejarawan manusia tidak mempunyai pembawaan alamiah, melainkan yang dipunyainya adalah sejarah – jadi manusia selalu berada dalam proses. Untuk selanjutnya tugas ilmu sejarah adalah mencari elemen yang konstan, typical, tetapi juga mencari transformasi dan perubahannya. Dalam kaitan dengan ini masa lampau tentang kejadian-kejadian manusia ( past human event ) harus dicari perubahan-perubahannya. Kemudian tentang fakta dan penjelasannya sejarah menekankan pada aktivitas manusia yang mempunyai makna sosial. Sebagai contoh sejarawan tidak akan menulis Sukarno, Alimin, Sudjojono, atau Shakespear hanya untuk mereka saja, melainkan mereka dengan segala aktivitasnya yang berkaitan dengan dan berpengaruh terhadap lingkungan sosialnya di mana mereka berada.
Sekali lagi yang ditulis dalam ilmu sejarah adalah aktivitas manusia yang mempunyai makna sosial. Seperti kata Maurice Mandelbaum, tugas seorang sejarawan adalah berusaha mengungkap past human activities yang mempunyai makna sosial ( societal significant ), mengukuhkan fakta, memahami, dan menerangkan ( Mandelbaum 1969, 124 ). Kejadian yang diterangkan di sini dapat berupa kejadian yang terencana, maupun insidental. Di samping itu pilihan tentang aktivitas manusia terletak pada aktivitas yang sifatnya rasional sehingga mampu diterangkan secara memuaskan. Misalnya penyerbuan Sultan Agung ke Batavia 1628-1629 yang direncanakan. Tentang hal ini pula menurut Carl G. Hampel, ilmu sejarah berusaha menunjukkan bahwa kejadian-kejadian sejarah bukanlah suatu kebetulan, tetapi sudah diharapkan terjadi sebelumnya, mengingat adanya kejadian-kejadian sebelumnya atau kondisi-kondisi yang simultan ( Hampel: 1969, 79 ). Menurut dia harapan terjadinya suatu peristiwa bukanlah suatu ramalan, melainkan antisipasi yang rasional dan ilmiah yang didasarkan pada asumsi hukum-hukum yang umum. Menurutnya pula sejarah itu hanya menjelaskan suatu yang unik yang tidak terulang dan menjelaskan unsur-unsur peristiwa. Sebagai contoh ia menyebut Revolusi Prancis sebagai peristiwa yang tidak lepas dari kejadian-kejadian sebelumnya. Secara implisit Hempel berusaha mendekati peristiwa sejarah dengan general laws ( sebagaimana kaum positivis atau scientifict ). Di samping itu sebagai peristiwa unik, sejarah perlu dijelaskan dengan model narrative-describtive. Namun pendapat Hempel itu tidak lepas dari unsir kelemahan. Kelemahan itu terletak pada kesengajaan untuk menyudutkan peristiwa sebagai bagian dari yang umum dan kurangnya segi analisis. Berbeda dengan kaum scientifict yang berusaha mencari gegala umum, Mikhael Oakhesott mengatakan bahwa sejarawan ingin mencari objek-objek yang sifatnya individual. Ahli botani misalnya, sebagai wakil kaum scientist pergi ke hutan bertujuan mencari jenis tanaman, bukan mencari ujud atau bentuk tanaman. Selanjutnya jelaslah bahwa kaum scientist selalu menggunakan artikel a, sedangkan sejarawan menggunakan artikel the. Lebih lanjut Oakhesott mengatakan bahwa penggunaan hukum yang umum sebagaimana kaum positivis dalam penjelasan tentang kejadian tertentu justru akan merusak sejarah. Penjelasan sejarah yang ideal adalah menunjukkan semesta dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang secara intrinsik berhubungan antara satu dengan lainnya tanpa adanya mata rantai yang terputus. Juga dijelaskan bahwa metode sejarah tidak pernah menerangkan dengan cara generalisasi. Pemahaman sejarah selalu dicapai melalui pengungkapan detail yang lebih banyak dan lebih konkrit. Akhirnya Oakhesott membuat kesimpulan bahwa model penjelasan sejarah yang baik adalah Continuous Series.
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etis, dan keduanya itu harus dibedakan dengan saksama. Relativisme etis berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut, dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.
Relativisme budaya mengizinkan anggota masyarakat untuk mengalami hal-hal yang mutlak dan mengetahui makna hidup mereka sesungguhnya. Masalah pencurian di Amerika Tengah yang multibudaya, misalnya, setiap orang di sana mengerti suatu hal yang mutlak, "Tidak boleh mencuri." Setiap orang di sana mengerti, mengiyakan, dan mempraktikkan hal-hal yang mutlak dalam aturan dan norma masyarakat, memenuhi tanggung jawabnya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Tak seorang pun melanggar apa yang sudah mutlak dalam menyesuaikan diri dan hidup berdampingan dengan orang lain. Dengan sendirinya, konflik norma terselesaikan dengan mudah melalui saling pengertian. Penyelesaian konflik pun dijaga melalui pengadaptasian yang arif oleh masyarakat. Kekacauan justru timbul dalam masyarakat berbudaya tunggal karena adanya keterhubungan antara relativisme budaya dan relativisme etis.
Relativisme budaya menegaskan adanya gangguan supernatural yang melibatkan tindakan dan ajaran. Bahkan seperti Kristus, melalui inkarnasi, menjadi daging dan tinggal di antara kita, demikian juga ajaran atau kebenaran menjadi terwujud dalam budaya. Bagaimana pun, seperti halnya firman membuat daging tidak kehilangan keilahian-Nya, demikian juga ajaran tidak kehilangan kebenarannya melalui perwujudannya dalam bentuk sosial budaya manusia. Ajaran itu selalu menyeluruh dan utuh sebagai kebenaran. Selama ekspresi sosial budaya didekati secara lintas budaya, maka hal itu dapat dikatakan sebagai kebenaran juga. Saat kebenaran dikawinkan dengan satu perwujudan budaya, potensi adanya "kepalsuan" sangat besar. Yang lebih serius lagi, potensi adanya kepalsuan dalam budaya yang memakukan kebenaran pada satu perwujudan budaya, lebih besar, jika budaya tersebut sedang mengalami proses perubahan.
Sumber:
·         Marvin K. Mayers, Christianity Confronts Culture Judul asli artikel : Absolutism and Relativism. Zondervan Publishing House, Michigan 1974 Halaman : 231 – 237
·         Burke, Peter ( 1980 ), Sociology and History. Boston: George Allen & Unwin.
·         Burke, Peter ( 1992 ), History and Sicial Theory. Cambridge: Polity Press.